Mo Mati mi Koran
Semua yang pernah hidup pasti mati. Tentang media cetak, koran misalnya, pernyataan pada awal paragraf ini sudah disentil sedikit oleh esai “From Papyrus to Pixel” pada website economist.com di tahun 2014. Beda dengan buku, koran cetak lebih terancam terdisrupsi. Subjektif saya simpulkan, bahwa transformasi digital memberi arah baru bagi insan pers. Bagaimana cara menulis berita, cara publikasinya dan cara jualnya. Inti artikelnya bisa dibilang, koran tidak sanggup hadapi teknologi digital. Publik juga sudah pesimis. Padahal, kalau mau ngeles, enteng saja jawabnya. Jangan kita baku hadap-hadapan toh. Berdiplomasi. Pas tiba itu digitalisasi, tinggal baku gandeng. Beriringan. Jalan sama-sama. Beres. Tidak akan ada peristiwa baku bunuh.
Tapi, menurut malaikat mautnya media massa cetak, peristiwa kematian koran ada beberapa penyebabnya. Seperti bergentayangannya media online dan media sosial. Dari sisi bisnis, dua media itu bawa pengaruh pada model dagang koran. Koran banyak kehilangan follower (pembaca). Karena pembaca inilah yang jadi aset untuk menguatkan bargaining power di hadapan pemberi iklan. Sumber keuntungan bisnis media itu tak lain ialah pengiklan. Kalau koran ditinggalkan pembaca setianya, otomatis pengiklan langsung starter motor, pergi jauh-jauh. Kalau tidak ada iklan, berita reguler saja, oplah yang besar dari sebuah media massa hanya akan menggiring pada kebangkrutan yang hakiki. Karena harga jual eceran belum menutup ongkos produksi.
Memang judul tulisan ini sangat pesimistik dan horor. Tapi saya mau beri nuansa optimis sedikit. Kita pernah yakin roda itu taputar. Hari ini kaya, nanti miskin. Hari ini baik, besok penjahat. Hari ini hitam, besok hangus. Hari ini jelek, besok hancur. Hari ini jomblo, besok, eh masih jomblo. Kita yakin kalau hidup punya siklus. Lalu, di episentrum modernisasi seperti ini kita tidak asing lagi dengan kampanye atau istilah back to nature. Bahwa benar, sekarang pola dan habit kita senti demi senti beranjak. Tapi, suatu saat kita akan kembali ke titik mula. Cara kita hidup mungkin. Cara kita bersosialisasi. Cara kita pake baju. Cara kita belajar. Bahkan bisa jadi dengan cara kita memperoleh informasi. Mungkin semacam semi reinkarnasi.
Untuk menguatkan statement tentang siklus itu, saya kutip saja teori ini dari pangkalan ojek, ada juga di ramalan. Ramalan cuaca. Kalau nanti, bumi ini, iya bumi kita, yang dikasi rusak sama tukang buang sampah sembarang dan penambang ini akan diterpa badai elektromagnetik. Beda dengan yang dulu-dulu. Nanti akan dahsyat. Dahsyatnya, bila dibandingkan dengan senyumanmu, membuat aku lesu darah.
Suasananya mungkin beda-beda tipis dengan skandal Skynet dalam karya sinematografi Terminator Genisys, badai itu akan hancurkan semua alat elektronik. Semua sistem digital akan lumpuh total. Kalo sudah begitu, jangankan koran, manusia juga bisa mati. Namun, yang selamat akan kembali membangun peradaban distopia dari titik nol.
Dalam agama, ini bisa jadi momentum Gog dan Magog keluar Lapas, usai dikurung Zulkarnain ribuan tahun lamanya. Mereka buat kerusakan, termasuk koran juga berpeluang dirusak. Kita perang dengan mereka. Tapi tidak mampu. Tidak ada yang bisa kalah. Mau andalkan nuklirnya Iran dengan Kim Jong Un, sudah nda bisa. Lumpuh. Teknologi habis. Mau andalkan Amerika, susah juga, lawan Taliban saja dorang loyo, cepat habis uangnya.
Pada akhirnya, kita akan baku hambur langsung dengan mereka. Face to face. Baku tombak dan baku parang. Perang tradisional. Tidak seperti perang zaman sekarang; biar dari rumah, tinggal main pijit langsung terbang roket belasan kilo. Ada juga yang habis temba lalu sembunyi. Ini karakter katere. Yang paling penakut pasti Amerika kecuali Rambo, mereka pake teknologi drone nirawak karena takut baku tada di palagan tempur. Teknologi telah membuat orang lemah dan jadi pengecut. Dari situ peradaban akan selalu mencari jalan pulang. Tapi teori ini lemah. Sangat. Jangan terlalu kaffah yakini. Untuk referensi saja. Bahan cecerita di pangkalan kalo sedang mabo dan main domino.
Sudah terlalu ngawur, mari kita kembali ke fitrah tulisan ini. Ayo kita rentangkan dua perdua tantangan yang ada di depan mata penjual koran. Dan berharap semoga bisa ada inovasi yang dilakukan. Atau minimal saran-saran.
Dibanding media online, koran cetak menghadapi dua lawan sekaligus; media online itu sendiri dan media sosial. Orang mengaku beralih ke online karena gratis mengakses informasi. Untuk apa beli koran. Buang uang 5000 lagi. Padahal untuk mengakses informasi online butuh kuota, paket data. Dan harganya bisa lebih dari 5000 rupiah.
Belum lagi dikasi parah ekosistem online yang penuh toxic. Didobolkan lagi literasi digital publik yang bobrok. Info valid, fake dan hoax baku campur dengan iklan pembesar kejantanan. Konsentrasi buyar. Pop up, notifikasi dan ads jadi distraksi yang mengoyak kenyamanan membaca. Mengancam keutuhan informasi. Orang rentan mengunyah dusta.
Sedangkan koran memiliki rentang kendali yang jelas. Informasinya telah melalui penyaringan berkali-kali. Dari level reporter, redaktur, Pemred hingga yang “maha esa-nya” perusahaan media. Output yang keluar tidak mentah. Informasi diolah di dapur redaksi, bukan di dalam tas. Mengenai kenyamanan, sangat nyaman. Bisa baca sambil makan gabin dan minum teh. Cuma, kelemahannya kalau kencang angin. Ditiup-tiup koranmu. Setengah mati, terganggu membaca.
Demi jurnalisme yang berkualitas, antara cetak dan online tidak perlu dibenturkan. Semua memiliki pasarnya sendiri-sendiri. Biarkan pembaca yang jadi hakim. Mau mengisi batok kepalanya dengan info apa.
Saling menyesuaikan adalah pilihan bijak. Baku gandeng. Baku saling jaga dengan baik, layaknya menjaga jodoh orang. Sesama pegiat media, bersama-sama saling memberi guidance untuk pengingkatan kualitas dan terverifikasi lembaga kredibel seperti Dewan Pers.
Kesuskesan bisnis teknologi dan media massa tidak bisa diramal. Tapi kebangkrutannya bisa diprediksi. Prediksinya gampang saja. Tinggal dilihat mana media yang masih katro gunakan cara-cara usang. Tidak adaptasi. Tidak baku gandeng. Padahal perilaku sosial masyarakat makin trendy. Isu kehilangan pembaca, sangat bergantung pada konten. Menarik atau tidak.
Jika lingkungan kita seperti orang Skandinavia, kita yakini dipenuhi dengan orang-orang yang gila baca, haus pengetahuan maka tidak perlu capek-capek mengemas konten dengan menarik. Cukup sodorkan gagasan baru. Tawarkan kebaruan. Kita harus banting tulang mendesain konten dengan bagus dan keren, karena di sisi dunia bagian tenggaranya Sulawesi ini masih banyak pemalas membaca. Informasi yang katanya minat baca Sultra itu tinggi, itu tidak utuh. Yang mereka maksud itu sebenarnya minat membaca judul.
Pemirsa ini perlu dimanjakan dengan keunikan. Contohnya koran Kendari Pos. Edisi kamis 9 September lalu mencoba tampil dengan design yang tidak datar. Dirancang kolektif dalam keredaksian. Masing-masing redaktur menumpahkan isi kepalanya di atas meja. Lalu dipungut yang maso akal. Ide-ide itu lalu dieksekusi oleh illustrator. Dan dipesankan padanya, usahakan setiap sapuan brush diselipkan nilai-nilai historis. Ada sentuhan emosional. Karakter itu yang kemudian menjadi daya tarik. Ikhtiar lain untuk menyambung nyawa.
Setiap terbitannya, Kendari Pos berusaha bahwa itu adalah masterpiece. Meski dikerubungi jamur media online, Kendari Pos teguh dan yakin pada visi; tuntas memberitakan serta road map santun dan menginspirasi. Memperkuat keorganisasian dengan perbaiki sistem recruitment. Saling jaga harmoni, Saling kasih berkah. Kematian itu jelas, tapi bukan alasan untuk tidak berbuat dan berkarya yang terbaik. Mungkin koran akan mati, tapi tidak dengan jurnalisme. Media bisa collapse, ilmu pengetahuan berkembang.
Hal semacam itu sudah diprediksi. Makanya integrasi ruang maya dan fisik jadi inovasi. Di zaman pixel, Kendari Pos muncul dengan gradasi warna baru. Konvergensi. Ini ikhtiar selanjutnya. Saya sudah uraikan tiap pigmen konvergensi pada link berikut https://wakinamboro.wordpress.com/2021/07/06/nyawa-cadangan-bernama-konvergensi/, silahkan klik, kalo minat dan daya baca antum-antum sekalian belum hosa.
Upaya ini hanya sekelumit dari apa yang bisa diinovasikan media massa cetak saat disrupsi menjelang. Dan mengakhiri tulisan ini saya teringat percakapan seputar dunia virtual dengan seorang senior saya di tempat kerja. Beliau bilang “biar semua sudah digital dan serba virtual, ada satu yang tida bisa divirtualkan.” Lalu saya tanya, “apa itu bang?”. Beliau jawab “adegan dewasa”. Supaya terdengar akademik, saya convert saja frasa itu kedalam terminologi science menjadi sexual intercross. Tentang ini juga, sejak tahun 1995 sebenarnya para pakar delusi sudah menyinggungnya. Dan saya telah jelaskan sedikit kulit-kulit luarnya di dalam tulisan berikut https://wakinamboro.wordpress.com/2021/04/15/kekuatan-pikiran-coronasomnia-hingga-mati-suri/. Silahkan simak juga, kalau kopi anda belum habis.