Jika dijalan, ketemu Ibu-ibu, naik motor, sen kiri tapi jalan lurus atau belok kanan. Segeralah menghilang. Mereka adalah Penguasa Bumi, mereka adalah Super Saiya dari Planet Namek yang memiliki tiga matahari, dan hitungan Waktu yang lebih pendek. Jadi jika tidak mau terbakar dan tidak mau berumur pendek, segeralah melenyapkan diri.
Menurut Esther Vilar, penulis campuran Argentina-Jerman, kita, laki-laki ternyata adalah Budak dari tulang rusuk kita sendiri. Iya, Woman. Walaupun ada kenyataan yang viral seorang budak (laki-laki) bernama Armor Toreador baru saja “mengkipas” tuannya sendiri, istrinya, yang selebgram itu. Arogansi Budak ini juga tercatat dalam kisah Spartacus, yang membantai tuannya Batiatus. Karena para Budak itu sudah cape ikut “sabung orang”.
Untuk memperkaya pandangan dan pengetahuan saja, setiap pria, perlu membaca buku karya Esther Vilar, berjudul The Manipulated Man. Buku ini telah menimbulkan kemarahan dan kritik keras dari wanita. Walaupun ia sendiri adalah perempuan, tapi ia punya perspektif unik terkait kaumnya sendiri. Dia menjelaskan bagaimana sejak zaman dahulu wanita telah memanipulasi pria dan menjadikan mereka budaknya. Mereka berpura-pura menjadi pihak yang tertindas, padahal sebenarnya merekalah para penindas. Itu dikonfirmasi oleh pernyataan Zainuddin kepada Hayati, di detik-detik perpisahan mereka. Bagaimana Hayati berusaha menjadi pihak yang tersakiti, padahal Zainuddin-lah yang hampir kena mental disorder (keterbelakangan mental) karena menanggung beban perpisahan yang tiada tara.
Sebelum kita mengkritisi apa yang jadi motif Esther terkait pandangannya dalam perbudakan pria, mari kita ikuti saja dulu arus berpikirnya. Ingat!, cukup ikuti arus pemikirannya, jangan sampai terbawa oleh arus pemikirannya. Supaya tidak terjebak dalam ungkapan “Anda adalah apa yang Anda baca”.
Esther Vilar menjelaskan wanita lihai memanipulasi seorang laki-laki melalui tahapan-tahapan seperti; pacaran dan akhirnya pernikahan. Oleh karena itu, muncul ungkapan, “a man chases a woman until she catches him.” Dalam bukunya itu, dia menjelaskan bagaimana pria diperdaya untuk merawat wanita seumur hidupnya, termasuk anak-anaknya. Itulah sebabnya laki-laki harus tanggungjawab, dan mendapat imbalan berupa beberapa menit kenikmatan seksual.
Berdasarkan pengamatan terhadap pernyataan Esther, laki-laki adalah budak dari keinginannya sendiri, dan wanita telah menggunakan ini dari dulu sebagai alat untuk mengendalikan pria, membuatnya terus mengejar kesia-siaan dan akhirnya mengabdikan hidupnya untuk melayani wanita.
Esther juga menjelaskan tentang persaingan antar wanita, di mana setiap wanita merasakan dorongan kuat untuk memiliki seorang pria hanya untuk dirinya sendiri. Seperti halnya pemilik budak, wanita membenci setiap usaha pria untuk memberikan layanannya kepada wanita lain. Wanita akan menggunakan segala cara untuk menjaga pria tersebut hanya untuk dirinya dan anak-anaknya saja. Nah ini dia genealogi kenapa beberapa wanita berubah wujud menjadi Lady Hulk saat laki-laki berniat poligami.
Esther berpegang pada teori bahwa semua masyarakat sebenarnya adalah matriarkal, bukan patriarkal seperti yang sering kita yakini. Matriarki berkuasa bukan melalui kekuatan fisik, tetapi melalui kecerdasan dan tipu daya; wanita berpura-pura lemah agar dilindungi, misalnya, beberapa pria kaget ketika tahu ternyata istrinya bisa pikul galon. Dengan demikian pria menjadi pihak yang paling dieksploitasi dalam sejarah manusia (dalam peperangan, pria selalu siap mati demi wanita; pria telah dilatih untuk melakukan hal itu). Sampai disini, pernyataan itu sedikit relevan dengan artikel (jurnalisme investigasi) yang dipublikasikan Tempo berjudul “Tenang, Ibu Sudah Disini”, yang mengulas manuver senyap Ibu Negara memuluskan anak sulungnya ke kursi Wapres. Dalam konteks persaingan, ia bersaing dengan kaumnya sendiri, Megawati, Ketum PDIP, perempuan. Dalam konteks manipulasi, tentu ada jejeran pria mapan yang berbaris, siapa mereka; bapak lebih paham lah.
Bersama para feminis yang mendukungnya, Esther menyebut konsep berkencan dan pacaran sebagai Diklat, seperti melatih seekor kuda. Selama periode ini, wanita menahan keinginan seksual pria dan memikatnya dengan pesona palsu, lalu melatih dan membentuk pria menjadi apapun yang ia inginkan. Proses perbucinan terjadi ditahap ini. Pernikahan adalah manifestasi perayaan bagi wanita dan konco-konconya. Itu semacam syukuran karena berhasil mendapatkan seorang budak. Di hari pernikahan, sebetulnya pria melambaikan selamat tinggal pada kebebasannya dan berpisah dari koalisinya dengan para pria lainnya. Maka muncul larangan nongkrong, ngewarkop, futsal, mendaki, dll. Sistem sosial masyarakat dan pemerintah selalu siap untuk memenjarakan, memalukan, atau mengasingkannya jika laki-laki melarikan diri dari tugas perbudakannya. Oleh karena itu, sistem sosial membantu wanita menjaga budak mereka (pria) tetap terkendali.
Esther menceritakan bagaimana wanita dilatih oleh matriark yang lebih tua untuk menaklukkan pria. Dia menjelaskan bagaimana seorang pria dilatih untuk bergantung pada wanita oleh ibunya sendiri. Seorang pria dimalukan jika harus memasak untuk dirinya sendiri atau melakukan pekerjaan rumah lainnya oleh ibunya sendiri, yang merupakan agen dari aturan matriarki global. Dengan membuat pria membenci pekerjaan domestik dan dengan budaya yang memperkuat larangan bagi pria untuk masuk ke dapur, mencuci baju, dll., seorang ibu melatih putranya untuk wanita yang akan memikatnya nanti. Ketika waktunya tiba, wanita itu mengendalikan pria melalui perutnya dan tubuhnya, dikendalikan, baik di ranjang maupun di dapur. Dengan dua senjata itu, wanita memanipulasi pria dan menjadikannya bak layangan yang ditarik ulur.
Dalam buku yang satunya, The Myth of Male Power, Esther Vilar membahas Hak Pria untuk Wanita Lain dan Poligami Seksual. Ini salah satu ide sekuler yang berbahaya jika buku ini ditemukan oleh remaja alay yang masih sibuk cari jati dirinya yang tercecer entah dimana. Para penulis buku tersebut menantang narasi bahwa pria menindas wanita, dan melalui penelitian di berbagai masyarakat kuno dan modern di Afrika, Barat, dan Timur, mereka mengungkap kekuatan tersembunyi dari matriarki yang kejam yang menguasai dunia. Riset antropologis oleh Helen Fisher yang termuat dalam The Evolution of Human Behaviour (1982) tiba pada kesimpulan bahwa pernikahan adalah ciptaan egois dari seorang wanita, di mana ia menggunakan seks untuk memanipulasi pria agar merawat dirinya dan keturunannya. Hewan jantan lain tidak memiliki beban dan tanggung jawab yang sama.
Kesimpulan tersebut anarkis memang. Menyamakan manusia dengan perilaku seksual binatang itu berlebihan, terlalu anj**g. Tapi, kita bisa pahami, karena riset itu dilakukan pada masyarakat kuno. Tidak relevan lagi, sebab sekarang eranya Childfree, bahkan Jepang, China dan negara maju lainnya sedang mengalami satu tantangan modern; populasi yang menua.
Pada akhirnya, Presiden, Kaisar, Raja, Bupati, Wali Kota, dll adalah bilangan 01 yang dikendalikan bilangan invisible 00. Mereka hanyalah boneka dari kekuatan matriarki yang menguasai dunia dengan menarik tali dari balik tirai.
Esther menegaskkan bukunya ini (The Manipulated Man) wajib dibaca oleh setiap pria di seluruh dunia. Menurut saya, betul. Silahkan baca. Tapi jangan telan mentah-mentah semua yang tertulis. Karena tidak sepenuhnya benar. Cukup dibaca untuk adu argument saja ketika Anda baku hambur dengan kaum terkuat di bumi.
Apa yang direkam Esther dalam bukunya menawarkan pandangan yang sangat ekstrem dan cenderung menyederhanakan kompleksitas hubungan antara pria dan wanita. Beberapa hal yang dapat kita kritisi dari pandangannya ialah misalnya generalitas yang keterlaluan. Menggambarkan semua wanita sebagai manipulator dan semua pria sebagai korban, tidaklah adil. Padahal, tidak semua hubungan antara pria dan wanita didasarkan pada manipulasi atau kekuasaan sepihak. Tidak semua laki-laki mau mencekik istrinya, kecuali Fifty Shade of Grey. Dan, tidak semua perempuan mau memborgol suaminya lalu dikasi menyala. Setiap hubungan berbeda, dan banyak pasangan yang saling mendukung dan bekerja sama secara setara, berdasarkan cinta, komitmen, dan saling menghormati.
Begitu juga dari aspek Stereotip gender, sangat kaku. Gagasan bahwa wanita berpura-pura lemah untuk memanipulasi pria menguatkan stereotip kuno yang mereduksi wanita menjadi makhluk yang licik dan menipu. Ini tidak hanya merugikan wanita, tetapi juga membatasi pria dengan menggambarkan mereka sebagai individu yang mudah diperdaya dan dikendalikan oleh nafsu.
Sedangkan pandangan bahwa dunia dikuasai oleh matriarki melalui trik dan tipu daya tidaklah berdasar pada kenyataan sosial yang lebih luas. Banyak data dan studi menunjukkan bahwa kekuasaan di sebagian besar masyarakat masih condong pada pria dalam hal ekonomi, politik, dan sosial. Menggambarkan wanita sebagai penguasa tersembunyi yang memanipulasi pria justru mengabaikan ketidaksetaraan gender nyata yang dihadapi banyak wanita. Sampai sekarang pun isu-isu emansipasi perempuan masih menjadi perbincangan publik.
Mengasumsikan bahwa seluruh kehidupan pria hanya berputar di sekitar selangkangan (seks) dan bahwa wanita menggunakan seks untuk mengendalikan pria sangat menyederhanakan dinamika hubungan antarpribadi. Hubungan cinta dan pernikahan tidak hanya melibatkan daya tarik seksual, tetapi juga komitmen emosional, intelektual, dan sosial yang kompleks. Atau bisa juga karena harta, kan!.
Begitupula anggapan kalo wanita menghindari pekerjaan rumah tangga dan memanipulasi pria untuk melakukannya juga tidak relevan dengan perkembangan modern. Banyak pria dan wanita saat ini berbagi tanggung jawab domestik secara setara. Anggapan bahwa pria “diperdaya” untuk bekerja dan merawat keluarga hanya mencerminkan cara berpikir tradisional yang mulai ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa apa yang ditulis Esther sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.(*)
Komentar ditutup.