Jumat, 12 Juli 2024, adalah hari yang tak akan saya lupakan—bukan karena saya memenangkan undian, tapi karena kaki kanan saya tergilas gir motor. Kelakuan Abi saya. Ya, tiga jari saya terluka parah sekali, bahkan satu jari hampir memutuskan untuk “resign” dari tubuh saya. Tapi tenang, saya tetap mempertahankannya, meski sepertinya dia sudah mengajukan surat pengunduran diri.
Dengan gerakan seribu bayangan, kami segera meluncur ke puskesmas, tapi ternyata, puskesmasnya tutup! Saya kira puskesmas lagi liburan. Abi, yang kelihatannya blank seperti orang baru nonton plot twist felem India, mencoba mengarang solusi. Dengan sisa tenaga seperti baterai ponsel yang tinggal 1%, saya bilang, “Abi, ke Rumah Sakit Faga Husada saja.” Setelah sedikit melalui drama dengan ojek, akhirnya kami sampai juga.
Kaki saya dijahit dengan sepuluh jahitan, dan dalam kepanikan yang total, saya sempat bernazar yang mirip sumpah Palapanya Gajahmada ke dokter, “Dokter, selamatkan saya, nanti saya ajak dokter ke Mekah, kalo suda jadi pemainnya Real Madrid!” Dokternya cuma ketawa, mungkin dia pikir, “Kamu saja belum selamat, teganya ajak orang liburan!”
Hari ke-10, saya harus balik untuk buka jahitan. Umi saya mencoba beri semangat, “Abang jangan nangis ya, abang kan kuat.” Saya jawab dengan suara bergetar, “Iya, Umi…” Padahal dalam hati, saya kayak mau audisi film horor.
Waktu kecelakaan itu terjadi, saya lagi pegang printernya Abi. Hebatnya, walau kaki saya tergilas, printer itu tetap saya serahkan baik-baik ke Abi dengan elegan, seperti sedang menyerahkan obor Olimpiade Paris. Di sebelah saya ada penjual martabak yang kelihatannya lebih terkaget-kaget daripada saya.
Sebelum sampai di rumah sakit, printer yang setia itu dititipkan di pencucian motor. Dokter bilang satu jahitan biayanya seratus ribu, jadi untuk sepuluh jahitan, totalnya satu juta. Saat itu, saya mulai berpikir mungkin saya harus jual printer itu buat bayar jahitan.
Untungnya, Papah Fahri, seorang perawat di RS Siloam, datang seperti superhero. Dengan senyuman, dia berkata, “Husen, jahitanmu cuma tujuh, yang tiga lagi sudah bisa pake main bola.” Saya yang masih panik langsung pikir, “Wah, ngeri, kayaknya ini jahitan lebih Ronaldo daripada saya.”
Akhirnya, Papah Fahri mulai membuka jahitan sambil becanda, “Tenang, saya cuma mau gunting benangnya, bukan kakimu.” Oke, itu bikin saya lega… sedikit. Sementara saya berusaha tenang, rasanya seperti daging kaki saya lagi ikut lomba tarik tambang di acara 17-an. Tapi setelah selesai, saya lega seperti habis bayar utang ke rentenir.
Dua minggu kemudian, saya pergi ke rumah Tante Wati, yang lebih mirip “fisioterapis ninja.” Tante Wati memberi saya resep ajaib: “Bekukan air Aqua, terus gosok-gosokkan di kakimu.” Hmm, seperti latihan meditasi ala es krim.
Sekarang, saya sudah bisa main bola lagi, walau lari saya masih seperti robot yang baterainya habis setengah. Saat pertama kali kembali ke sekolah, teman-teman saya heboh seperti nonton drama Korea. Mereka penasaran, “Husen, gimana ceritanya?” Saya pun mulai menceritakan kejadian itu (baca dari awal) dengan gaya slow motion, persis kayak film action yang budget-nya rendah.
Tapi, akhirnya, meski semua pelan-pelan sudah kembali normal, saya tetap rindu satu hal: Coach Sawarudin dan gaya marah-marahnya yang sudah seperti soundtrack dalam perjalanan hidup saya yang masih bau kencur ini. (husain)
Ny weekly This is really interesting, You’re a very skilled blogger. I’ve joined your feed and look forward to seeking more of your magnificent post. Also, I’ve shared your site in my social networks!
Live Coin Watch I just like the helpful information you provide in your articles
BaddieHub I do not even understand how I ended up here, but I assumed this publish used to be great
priligy usa I said if this is going to be respectable, I needto go to Rome and to Argentina and you need to fund the travel
фото приколы https://ru.pinterest.com/vseshutochki/%D0%BC%D0%B5%D0%BC%D1%8B-%D0%BF%D1%80%D0%B8%D0%BA%D0%BE%D0%BB%D1%8B-%D1%81%D0%BC%D0%B5%D1%88%D0%BD%D1%8B%D0%B5-%D0%BA%D0%B0%D1%80%D1%82%D0%B8%D0%BD%D0%BA%D0%B8/