Tidak pake wasit. Begitu cara kami dulu bermain sepakbola. Imbasnya, segala pelanggaran pasti melewati proses perundingan dulu. Ini mengandung filosofi mendalam bahwa kami telah digembleng berdiplomasi sejak kecil, layaknya para negarawan di kancah global.
Secara fisik juga termasuk kuat. Kami bisa bermain over durasi. Pulang sekolah jam 1 siang, sejam kemudian semua sudah berkumpul di lapangan dekat sekolah. Mulai pukul dua siang sampe azan magrib berkumandang kami main bola. No referee and timeless, maka segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk skor bisa sampe 3 digit menyerupai skor pertandingan antara Golden State Warriors VS Portland Trail Blazer.
Dari absennya wasit juga membuat kami untuk belajar menjadi individu yang jujur. Sampai harus menyeret nama orang tua dan bersumpah demi tuhan jika bola menyentuh tangan di area depan gawang. Saya tidak menyebut kotak penalty, karena memang Waktu itu tidak ada garis lapangan. Batasnya adalah semak-semak. Sebelum bermain, dua tim akan kompromi, tapi kadang komprominya saat permainan berlangsung, gradasi rumput warna apa yang akan menjadi batas territorial lapangan. Disini, lapangan tidak harus berbentuk kotak, kadang bentuknya bundar, kadang juga trapesium. Tentu hal ini dipengaruhi oleh tata letak batu-batu dan pecahan botol yang berserakkan di lapangan.
Tentang penentuan starting line up nya juga unik. Yang badannya gemuk besar pasti jadi Center Back, yang kencang larinya pasti jadi penyerang, dan yang suka goreng bola pasti jadi midfielder, sedangkan yang bodo main pasti diparkir jadi kiper. Satu hal, dulu ada aturan kalo main ada syaratnya, kalo sedang dapat pressure dari lawan, bola tidak boleh di ofor Kembali ke kiper untuk cari aman. Aturan ini absolute, sama statusnya dengan aturan FIFA yang melarang pemain bola selebrasi buka baju. Sedangkan satu-satunya yang boleh melanggar aturan itu bahkan semua aturan adalah dia sang pemilik bola. Pemilik bola ibarat dewa, tiap sabdanya adalah revisi terhadap aturan lama. Di level FIFA posisinya berada di atas Gianni Infantino.
Di Argentina mungkin Maradona adalah tuhan dan Messi dianggap nabi. Tapi disini tuhan sekaligus nabi adalah sang pemilik bola. Privilege yang diperoleh sang pemilik bola ini bukan main-main; dia tidak boleh di tekel, kalo kalah tidak bisa diganti, tidak boleh dibuat marah, posisinya wajib striker, dan harus bergabung ke tim yang kuat. Entah ada magis apa, bisa-bisanya kita semua patuh saja. Tapi untunglah kala itu saya adalah the ball owner. Mendapat kasta sebagai pemilik bola bukan perjuangan mudah, saya harus merengek berminggu-minggu ke bapak/mamak di rumah supaya dibelikan bola hanya untuk mengejar privilege ini di mata kawan sepermainan.
Sebagai yang punya bola, saya tidak satu-satunya. Tapi saya yang favorit. Karena waktu itu bola saya ada logo Juventusnya. Tidak seperti yang lain, bola polos yang kulitnya sudah takupas-kupas.
Saya menyaksikan perbedaan yang sangat signifikan dengan yang sekarang. Para orang tua sangat supportive terhadap hobi anak mereka bermain bola. Pernah pada satu kesempatan saya saksikan ibu-ibu berbondong-bondong mengantar anaknya ke sekolah bola, menonton dan menyemangati mereka latihan dan bertanding. Dulu, SSB adalah istilah yang asing bagi kami.
Melihat para orang tua seperti itu kenapa saya merasa tidak adil. Banyak kawan-kawan saya dulu dikipas mama bapanya karena suka main bola. Dilarang main bola terus. Tapi untunglah mereka semua penggila bola. Sampai pada waktu kita harus dewasa, masalah makin kompleks dan pelan-pelan meninggalkan hobi bola, beralih menjadi komentator.
Foto dipostingan ini adalah anak Desa Sampuabalo yang gemar pogolu. Sebelum masuk kelas, mereka sempatkan adu skill, sedangkan yang satunya lagi baru bangun tidur belum cuci muka dan masih lengkap dengan jersey sarungnya langsung merumput mengolah si bola penyok.
Foto disebelahnya lagi adalah Hussain Al Faruq, gelandang SSB Wolio, dia adalah salah satu generasi sekarang yang didukung Abi dan Ummi untuk berkarir di sepakbola. Targetnya bukan kaleng-kaleng. Dia ingin merumput di Santiago Bernabeu, markas Los Blancos. Waktu seusianya, saya sudah bermain di lapangan yang kami sebut Santiago Berdebu, lapangan tanah yang debunya terbang-terbang ketika dijejak dan tidak pernah se-visioner Hussain untuk bermain di klub.
Dalam proyek belajarnya di sekolah, ia pernah menjabarkan satu mind mapping yang mengalirkan gagasannya hingga berlabuh ke Real Madrid. Patut diwaspadai, bocah seusianya sudah mahir menggunakan analisis SWOT. Ia rentangkan masalahnya; mulai dari ambisinya ingin jadi pemain pro, dirintangi oleh usia dan tidak ada uang ke Real Madrid. Tetapi dia punya determinasi tinggi dalam berlatih. Satu celah kecil yang dilihatnya sebagai solusi adalah menjadi viral di youtube dan dilirik Don Carlo. As simple as that.
Sempat ia meragukan dirinya sendiri, mempertanyakan nasibnya di dunia sepakbola pada Ummi, adedehh. Sudah setahun lebih ia bergabung dengan SSB Wolio, tapi belum ada yang rekam dia untuk diviralkan. Semoga Hussain bisa jaga konsistensi dan tak patah arang dengan cita-citanya ke Bernabeu.
Suatu hari, saat saya nonton pertandingan debutnya di lapangan UHO, sebelum bertanding pelatih beri instruksi; “menyerang sama-sama, defence sama-sama ya”. Ini maksudnya sudah pasti kerjasama tim dan koordinasi. Sayangnya instruksi itu diterjemahkan berkumpul. Jadilah dimana ada bola, disana mereka secara bahu membahu merebut bola, meski harus meninggalkan post-nya. Beda dengan kami dulu, tidak ada instruksi filosofis. Strateginya cuma; kalo dapa, hantam kasi patah. Ini juga karena sang allenatore mental tarkam dan salah terjemahkan makna jogo bonito, the art of football. Sepak bola adalah seni, dimaknai sebagai seni bela diri.
Hari ini Abang Husain pasti hepi lagi, karena klub tempatnya ia berlabuh nanti kembali menjuarai Liga Champions ke 15 kalinya.