Mengapa MUDIK?…

Sekarang musim pulang kampung. Saya nostalgia membayangkan betapa lelahnya minta ampun saat antri di pelabuhan ferry Torobulu. Sampai bikin saya trauma, sedikit lagi kena mental disorder. Saya coba meminta tolong Ordal, tapi katanya “sori dinda, bukan wilayah kekuasaanku itu, di Amolengo kecuali saya”. Saya hanya pasrah. Banyak kali saya diserobot dan ditikung saat antrian. Saya seperti pemula yang dikelilingi atlet antri profesional.

Tapi, saya salut dengan mereka yang tetap setia dengan rutinitas tahunan ini, betapa kuatnya rindu yang ingin segera mereka tuntaskan pada keluarga, tidak pernah dikalahkan oleh letihnya mengantri. Saat merenungkan itu kembali dan berkontemplasi saya temukan satu artikel dari jurnal Humanika yang sangat relevan dengan musim pulkam saat ini.

Ini hanya satu sisi saja, dari sekian banyak sudut yang dapat kita pandang dalam memaknai fenomena mudik dalam masyarakat.

Diuraikan, tradisi mudik sebenarnya merupakan indikasi dari retaknya budaya dalam masyarakat. Itu artinya bisa jadi kita hanyalah pecahan-pecahan, puing-puing, remah-remah atau butiran debu dalam satu struktur budaya yang retak itu. Makanya jangan sombong/pamer kalo sudah tiba di kampung. Karena sebetulnya, mudik adalah cerminan konflik antara nilai-nilai tradisional dan modern, serta tarik-menarik antara asal-usul dan kehidupan di lingkungan perkotaan. Ada ketidakseimbangan atau keretakan dalam budaya masyarakat, satu sisi masih terikat pada akar budaya mereka namun juga terlibat dalam dinamika urbanisasi dan modernisasi pada sisi lainnya. Sehingga, tradisi mudik dapat diinterpretasikan sebagai salah satu manifestasi dari keretakan budaya yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Sederhananya, yang banyak dipahami, mudik itu perjalanan pulang kampung pada momen lebaran. Ketika Lord Luhut menyampaikan mudik 2024 adalah yang paling meriah sepanjang sejarah permudikan, angkanya fantastis sampe 193 juta lebih, kenaikannya 34 persen dibanding yang lalu, kita harus tanya mengapa fenomena ini berulang terus dan tambah banyak. Kalo begitu, konsekuensinya bisa jadi antrian Torobulu tambah sesak, jadwal antrian makin panjang. Otoritas mungkin kasi solusi, yaitu tambah armada dan jadwal pelayaran 24 jam. Tapi solusi itu tidak cukup. Seandainya mau anarki mungkin bisa saja Pemda rental tongkang, tapi itu sangat riskan. Jadi kapan kami yang jelata ini bisa pulkam dengan santuy?.

Kalo dihayal-hayalkan lagi, ada keadaan memaksa untuk lakukan mudik, bukan karena mo lebaran besok. Tapi karena ada ekonomi keluarga yang harus diungkit supaya keluar dari kemiskinan. Modernitas memaksa kita untuk cari uang di kota. Ingat, cari uang, bukan cari hidup, desa adalah seni paling mewah mencari hidup. Ada jiwa-jiwa yang haus ilmu pengetahuan, mengejar pendidikan di pusat-pusat kota yang tidak ada di pelosok kampung-kampung. Namun ini sangat berbeda dengan alasan-alasan semacam “tryin to get out of my bubble and experience a new culture or way of life“.

Jadi jelas, mudik terkait dengan distribusi dana, urbanisasi, kemiskinan, serta perjuangan nilai-nilai tradisional dan modern dalam masyarakat. Itulah kenapa Pakde Jokowi gaungkan salah satu nawacitanya bangun Indonesia dari pinggiran. Ada usaha mempertemukan masalah dengan public policy yang tidak pernah baku dapa, seperti menghapus kemiskinan dengan jalan memberantas orang miskin.

Mengapa mudik berkorelasi dengan keretakkan budaya ada empat hal yang mendasari; heteronomi kultural, ikatan primordial, perbedaan intensitas kepedulian dan ada tarik menarik yang tak tuntas.

Dalam heteronomi kultural, tradisi mudik menciptakan paradoks di mana pemudik mengalami tarik-menarik antara dua dunia yang berbeda. Ini bukan dunia maya dan nyata, tapi desa asal dan kota tempat mereka tinggal. Di satu sisi, mereka terpaku pada nilai-nilai tradisional yang terdapat di desa, yang sering kali berakar pada masa lalu mereka dan menjadi bagian integral dari identitas budaya. The other side, mereka juga terpapar pada nilai-nilai baru yang berkembang di lingkungan kota. Ini mencerminkan adanya heteronomi kultural di mana individu terpengaruh oleh nilai-nilai yang berbeda dari lingkungan yang berbeda, dan cara mereka berinteraksi dengan lingkungan baru dipengaruhi oleh nilai-nilai lama yang mereka bawa. Kasarnya, kalo kalian pernah amati vandalisme di mobil trek “lahir di desa rusak di kota”, itumi contohnya.

Di kota jarang ada anak muda nongkrong di Cafe pake sarung yang nota bene menjadi identitas budaya. Ini mencerminkan perpecahan antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pemakaian outfit dengan adopsi nilai-nilai modern dalam fashion. Dari penggunaan bahasa, sudah sangat minim anak muda perkotaan yang menguasai bahasa daerah ibu bapaknya. Begitu juga perubahan dalam kebiasaan makanan, di kampung, orang seringkali masih mempertahankan kebiasaan makan tradisional seperti ubi sebagai makanan, dari awal tanam, panen, kupas, parut, peras sampe menjadi kasoami misalnya. Ada proses sebelum disantap sebagai nilai-nilai keteguhan, keuletan dan kedisplinan. Namun, di kota-kota besar, terjadi pergeseran menuju makanan cepat saji atau makanan global lainnya. Ini mencerminkan perpecahan antara pemeliharaan pola makan tradisional dengan adopsi pola makan modern yang lebih praktis dan cepat.

Selanjutnya ialah ikatan primordial. Meskipun tinggal di kota, pemudik masih merasa terikat pada desa asal mereka dengan kuat. Ini menunjukkan bahwa ikatan primordial mereka dengan desa asal tetap kuat, meskipun telah tinggal jauh di lingkungan perkotaan. Ikatan primordial ini mencerminkan hubungan emosional dan spiritual yang mendalam dengan asal-usul mereka, yang pada dasarnya bersifat lebih kuat daripada ikatan dengan lingkungan baru mereka di kota. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka telah beradaptasi dengan kehidupan kota, tetapi ikatan emosional dengan desa asal tetap memainkan peran penting dalam identitas dan persepsi mereka tentang diri mereka sendiri.

Tradisi mudik juga mencerminkan perbedaan dalam intensitas kepedulian terhadap rumah dan tempat tinggal. Rumah asal di desa, cenderung menjadi fokus utama perhatian dan penghormatan dalam tradisi mudik. Ini mungkin karena rumah asal memiliki nilai simbolis dan emosional yang lebih kuat bagi pemudik, karena merupakan tempat di mana mereka dibesarkan dan memiliki kenangan yang dalam. Di sisi lain, tempat tinggal di kota mungkin dianggap sebagai tempat sementara yang tidak memiliki ikatan emosional yang sama dengan desa asal. Perbedaan dalam intensitas kepedulian ini dapat menciptakan keretakan budaya antara tempat asal dan tempat tinggal saat ini, di mana pemudik mungkin merasa terpisah dari lingkungan kota dan lebih terikat pada desa asal mereka.

Tradisi mudik mencerminkan tarik-menarik yang tak pernah tuntas antara asal-usul dan masa depan. Meskipun pemudik meninggalkan desa asal untuk tinggal di kota, mereka tetap merindukan dan terikat pada akar mereka. Namun, mereka juga dihadapkan pada harapan dan aspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik di lingkungan kota. Penting untuk mengubah ikatan yang menyesakkan ini menjadi orientasi ke depan, sehingga tradisi mudik tidak hanya menjadi tentang kembali ke akar, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri dan generasi mendatang. Hal ini menunjukkan perlunya menciptakan keseimbangan antara mempertahankan warisan budaya dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan baru.

Namun, tradisi mudik juga dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi dan resistensi terhadap modernisasi. Meskipun terjadi tarik-menarik antara nilai-nilai tradisional dan modern, tradisi mudik juga dapat dianggap sebagai cara masyarakat untuk mempertahankan dan merayakan identitas budaya mereka di tengah-tengah perubahan yang cepat. Ini dapat dilihat dari praktik-praktik tradisional yang masih dipertahankan selama perjalanan mudik, seperti perayaan lebaran di desa dan berkumpulnya keluarga besar.

Selain itu, tradisi mudik juga merupakan sarana untuk memperkuat hubungan sosial dan solidaritas antar anggota masyarakat. Perjalanan mudik memberikan kesempatan bagi keluarga dan teman-teman untuk berkumpul, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan emosional satu sama lain. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan nilai-nilai sosial dan komunitas yang penting dalam budaya Indonesia.

Dalam kehidupan perkotaan individualistik, tak ada salahnya jika kita menyempatkan waktu berbagi dengan tetangga dan keluarga di kampung halaman. Seperti yang dibilang Socrates, “Hidup yang tidak diperiksa atau direfleksikan tidak layak untuk diteruskan.” Mengapa demikian? Karena ketika kita tidak mengintrospeksi atau merefleksikan hidup, lalu apa bedanya dengan hewan.(agr)

4,543 Komentar