BELAJAR MENJADI PATRIOT LEWAT DAYA TARUNG LA ODE NGKADIRI

Di perairan Lohia, ia teguh menapakan kakinya, menyusuri inci demi inci titian, yang mengantarnya ke atas kapal MF De Flaming yang sekaligus menjadi saksi pengkhianatan atas dirinya. Kebulatan tekad mengembalikan supremasi mieno Wuna lewat perundingan dengan iming-iming perdamaian tidak lebih dari siasat licik imperium Belanda  selain divide et impera, dalam menumbangkan tokoh-tokoh lokal. Ia terpaksa mengalami keterasingan di negeri nun jauh. Walaupun terbelenggu, sorot matanya tetap menyala, bara di dadanya tidak kunjung padam.

TANAH Muna tidak pernah sepi melahirkan para petarung. Frasa tersebut bukan pepesan kosong belaka. Ia dapat ditelusuri dari genealogi raja-raja Muna yang tak berhenti mengumandangkan seteru atas kolonialisme. Sepanjang alur sejarah peradabannya, ada banyak kisah perjuangan dan kepahlawanan yang dapat jadi pijakan moral dan inspirasi untuk generasi selanjutnya. 

Disaat ketidakberdayaan kultural berhasil diciptakan oleh satu hegemoni kolonialis di bumi Sowite, maka muncul pula sesosok putra daerah, yang satu kali pun semangatnya tidak pernah tercecer dari jejak perlawanan. Ia adalah figur yang memancarkan keberanian ketika tanah tumpah darahnya digerayangi kekuatan asing.

Dia adalah Raja Muna ke-XII, La Ode Ngkadiri yang masyhur dengan sebutan Sangia Kaendea. Kehidupan dan perjuangannya merupakan peristiwa sejarah yang menjadi cikal bakal dan contoh nyata bagaimana seorang pemimpin bertekad mengubah nasib politik dan menginsipirasi komunitasnya untuk bangkit bersama mencapai keadilan dan kesejahteraan.

Lautan kisah yang ia torehkan meninggalkan genangan makna tentang patriotisme dan keteguhan hati. Setelah membaca beberapa literatur, saya memendam kagum yang sangat luar biasa. Perlawanan La Ode Ngkadiri seolah merepresentasikan semangat the unbow, unbroken, unbent dari House Martel diimajinasi George R.R Martin. Ia tidak akan tunduk dan menyerah dari penjajah, sebab keteguhan Raja Muna ke-XII itu tidak berangkat dari ranah imajinasi, daya juangnya ditempa sejak belia.

La Ngkadiri dilahirkan dari keturunan bangsawan, dan dibekali keahlian Ewa Wuna dan Saradhiki oleh ayahnya yang juga seorang Raja terdahulu, Titakono. Dipersiapkan sebagai penerus, ia juga mengenyam pendidikan ketatanegaraan. Untuk menjaga kompas moral ketika berkuasa kelak, ia menyerap hikmah ajaran Islam yang diwariskan para tetua. Tempaan rohani ini kemudian menjaga etika pergaulannya. Semangat kepemimpinan dan cinta terhadap tanah air telah tertanam dalam sanubarinya sejak masa muda. Ketika ia naik tahta sebagai Raja Muna, La Ode Ngkadiri memiliki tekad kuat untuk melayani rakyat dengan tulus dan membangun kerajaannya menjadi lebih baik. Namun hidup ibarat roller-coaster. Tekad dan impian sang Putra Mahkota itu bukanlah bentang panjang jalan bebas hambatan. Bukankah seorang pelaut ulung tidak akan diuji dengan ombak yang kecil.

Nun jauh di tahun 1613, armada Eropa mulai menancapkan cengkeramannya di jazirah tenggara Celebes. La Ode Ngkadiri cerdik mengamati gelagat Belanda di kawasan yang berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Buton. Ia memahami serangkaian kesepakatan itu adalah cara asing untuk merongrong dan menggerus resources. La Ode Ngkadiri bukanlah anak kemarin sore. Ia memahami betul peta geopolitik dan geostrategis. Ia sadar, Buton adalah kunci bagi Belanda untuk menguasai kawasan timur Nusantara.

Sangia Kaendea menunjukan karakter patriotik, ia memahami perubahan zaman tak mungkin ia pungkiri. Ia menghadapi pengaruh luar yang berusaha merongrong kestabilan kerajaannya. La Ode Ngkadiri tidak hanya bertahan dalam menghadapi tekanan dari pedagang asing dan penjajah, tetapi juga berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaannya. Dia tidak mengizinkan kerajaannya dijajah oleh kepentingan-kepentingan asing dan selalu berjuang untuk melindungi rakyatnya dari eksploitasi.

Penjajahan Belanda yang membawa kapitalisme barat untuk menghidupkan industrialisasi di Eropa melesatkan jiwa patriot dalam diri La Ode Ngkadiri. Dalam konteks patriotisme, sikap itu mencerminkan pandangan komunitarian. Ia memiliki rasa identitas dan kebersamaan yang kuat dengan komunitasnya, yaitu kerajaannya, dan berjuang untuk kepentingan bersama serta melindungi nilai-nilai yang diakui oleh komunitasnya. Dia menyadari tekanan dari pengaruh luar dan peliknya dinamika tarik menarik kekuatan kala itu, antara agresor Belanda, Gowa, Ternate, Buton, Tidore, Konawe, tetapi ia setia pada nilai-nilai komunitasnya dalam menghadapinya.

Ini sejalan dengan anggapan Hans Kohn bahwa patriotisme muncul dari identitas etnis dan budaya bersama. Orang-orang yang berbagi keturunan, bahasa, dan tradisi sering merasa lebih kuat ikatan patriotiknya. Hans Kohn mencatat bahwa sejarah dan warisan budaya bersama mempengaruhi pembentukan patriotisme etnis. Sehingga, hal- hal itu menjadi modal awal bagi La Ode Ngkadiri dalam merajut persatuan dan menggalang dukungan kekuatan.

Kerajaan Muna, dalam kesatuan teritori kepulauan meyakini kawasan maritim adalah rumah bagi siapapun. Mereka terbuka untuk segala bangsa melakukan aktivitas perdagangan. Seiring dengan ekspansi Eropa ke negara-negara dunia ketiga, sebenarnya tidak menjadi penghalang terhadap kerjasama dan integrasi internasional yang lebih luas. Namun kedatangan Belanda terlalu berambisi menanamkan pengaruh politik kolonialnya atas Kerajaan Muna dan inilah yang menjadi alasan utama perlawanan La Ode Ngkadiri. Nasionalisme ekspansionis yang menjadi mindset pemerintah kolonialis sangat menyulitkan negara untuk berkolaborasi secara setara.

Belum lagi taktik politik divide et impera yang digunakan oleh kekuasaan kolonial untuk membagi dan menguasai wilayah atau masyarakat dengan cara memanipulasi konflik internal dan perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Strategi divide et impera menjadi salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan memperkuat kendali atas kepulauan di Muna dan Buton.

Strategi licik itu kemudian membuahkan seteru dua saudara, Kesultanan Buton dan Kerajaan Muna. Konflik menahun tidak dapat dielak. La Ode Ngkadiri bergeming pada prinsipnya. Ia menunjukkan konsistensi seorang pemimpin dan simbol negara yang berdaulat. Determinasinya dalam medan tempur cukup merepotkan musuh. Sebagaimana semboyan hansuru hansuru badha, sumano kono hansuru liwu yang terpatri di kedalaman sanubarinya.

Hingga di tahun 1652 ia harus kalah oleh tipu muslihat Belanda. Ia diundang dalam sebuah perundingan damai di atas sebuah kapal yang berlabuh di Pulau Lima perairan Lohia. Sebuah cara pengecut untuk menaklukan seorang patriot sejati. Ia harus tertangkap dan menjalani exile selama 3 tahun di negeri yang asing (Ternate), sebelum suksesornya Waode Kelu melancarkan serangan dan serangkaian diplomasi pembebasannya.

Mengalami pengasingan, lantas tak membuat semangatnya surut. Setelah takhtanya kembali sebagai raja, ia kembali merapatkan barisan tempur. Ia memperkuat basis pertahanan di Barata Wasolangka yang dinilai strategis, sekaligus sebagai lumbung pangan logistik perang. Ia sibuk menjalin koalisi pertahanan dengan Gowa dan Tiworo untuk melancarkan perlawanannya yang terakhir.

Kisah kepahlawanan dan perjuangan dari seorang Raja Muna La Ode Ngkadiri tidak hanya menjadi legenda di Muna, tetapi juga sebuah inspirasi bagi kita semua. Cerita hidupnya mengajarkan pentingnya memahami perubahan zaman, menjaga kedaulatan, dan berjuang untuk kesejahteraan bersama. La Ode Ngkadiri mengingatkan kita tentang pentingnya kepemimpinan yang bijaksana, cinta terhadap tanah air, dan semangat juang untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Namun, kepahlawanannya tidak terbatas pada aspek fisik dan ekonomi semata. La Ode Ngkadiri juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang peduli pada pendidikan dan kesejahteraan sosial. Ia mendirikan sekolah-sekolah di berbagai wilayah kerajaannya dan memberikan akses pendidikan kepada semua lapisan masyarakat. Dia percaya bahwa pendidikan adalah landasan bagi kemajuan bangsa dan menciptakan generasi penerus yang cerdas dan berwawasan luas.

Kepahlawanannya terbukti ketika ia menghadapi berbagai tantangan dan rintangan. La Ode Ngkadiri tidak pernah gentar dan selalu mencari solusi terbaik untuk setiap masalah yang dihadapinya. Semangat juangnya memperkuat kerajaannya dan membuatnya semakin dicintai oleh orang Muna.

Dalam dunia yang terus berkembang ini, cerita-cerita kepahlawanan dan perjuangan seperti La Ode Ngkadiri adalah cara kita kembali merawat ingatan pada persitiwa sejarah. Kisah ini perlu terus diabadikan dan diceritakan sebagai sumber inspirasi. Semoga kita dapat belajar dari semangat juangnya dan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan yang bijaksana, serta berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan bersama.

Kabarakatino witeno Wuna. Tabe.