Istilah Omnibus Law pertama kali diucapkan oleh Presiden Joko Widodo pada pidato kenegaraannya di hadapan parlemen pada periode kedua di tahun 2019. Rencana merampingkan regulasi dengan metode omnibus setelah beberapa kali melakukan kunjungan kerja ke beberapa fasilitas pelabuhan Pelindo yang melayani bongkar muat. Dari pengalaman itu, ditemukan fakta banyaknya regulasi yang tumpang tindih dan rentang birokrasi yang cukup panjang dalam proses dwelling time. Sehingga barang-barang produksi yang menuntut segera terdistribusi ke pasar banyak terhambat.


Potret faktual tingginya arus petikemas dan keterbatasan luas lapangan penumpukan pada terminal petikemas mengharuskan terminal petikemas untuk menekan dwelling time petikemas. Selain dampak inefisiensi terminal petikemas, dwelling time dapat menyebabkan tingginya biaya logistik yang berpengaruh kepada harga komoditi.
Tingginya arus petikemas dan keterbatasan luas fasilitas lapangan petikemas perlu diimbangi dengan manajemen pelayanan yang baik yang dapat melancarkan proses keluar dan masuknya petikemas di lingkungan terminal petikemas, sehingga tidak menyebabkan tingginya utilisasi dari lapangan penumpukan (Yard Occupancy Ratio/YOR).

Tingginya YOR di sebuah pelabuhan akan menyebabkan kongesti di areal terminal petikemas dan dapat menyulitkan pihak terminal mendapat ruang pada saat kegiatan bongkar dan muat. Selain itu, tingginya YOR dapat menimbulkan inefisiensi di lingkungan terminal petikemas karena banyaknya kegiatan shifting pada saat pelayanan petikemas.

Salah satu bentuk usaha perbaikan untuk mengurangi tinginya penumpukan petikemas yaitu terkait dengan kebijakan lamanya penumpukan petikemas di lapangan petikemas. Pemerintah menargetkan lama rata-rata proses masa tunggu dan bongkar muat atau dwelling time pelabuhan di Tanjung Priok hanya 4 hari sejak akhir tahun 2013, dari yang semula mencapai 8 hari.
Secara garis besar, proses yang menentukan lamanya dwelling time di pelabuhan adalah pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance. Hal yang termasuk kegiatan pre-clearance adalah peletakan petikemas di tempat penimbunan sementara (TPS) dan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Sedangkan kegiatan customs clearance adalah pemeriksaan fisik petikemas (khusus untuk jalur merah), verifikasi dokumen-dokumen oleh Bea Cukai, dan pengeluaran Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Adapun kegiatan post-clearance adalah saat petikemas diangkut keluar pelabuhan dan pembayaran ke operator pelabuhan. Jadi, secara matematis dapat dihitung bahwa angka dwelling time adalah hasil dari penjumlahan komponen pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance.

Aktivitas dwelling time ini turut menjadi salah satu alasan penting mengapa diperlukan sebuah regulasi yang memayungi semua post-post regulasi yang ada, agar kegiatan ekonomi dapat berjalan efektif. Maka metode Omnibus Law oleh pemerintahan Joko Widodo dinilai harus segera dieksekusi.
Selain itu, Omnibus Law dilator belakangi juga oleh tujuan pemerintah yang ingin mengentaskan Indonesia dari middle income trap. Pemerintah sedang dalam upaya beralih dari negara berkembang menuju negara maju.
World Bank mengklasifikasi negara berdasarkan tingkat penghasilan ke dalam empat level. Negara berpenghasilan rendah (GNI perkapita < USD1,036), berpenghasilan menengah ke bawah (GNI perkapita USD1,036-USD4,045), berpenghasilan menengah ke atas (GNI perkapita USD4,046-USD12,535), berpenghasilan tinggi (GNI perkapita > USD12,535). Posisi Indonesia masih terjebak di level 2 dan sedang berusaha naik ke level 3 yakni negara berpenghasilan menengah ke atas (GNI perkapita USD4,046-USD12,535). Rezim Jokowi sedang berikhtiar mentransformasi ekonomi dalam rangka menuju Indonesia Maju.
Negara berkembang biasanya memulai pertumbuhannya dari sektor pertanian. Sebagai negara berkembang, sektor pertanian biasanya masih merupakan sektor dominan dan memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian. Dalam hal ini, negara berkembang akan berusaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi sektor pertaniannya melalui peningkatan teknologi dan penerapan metode pertanian yang lebih modern.

Setelah sektor pertanian terkonsolidasi, negara berkembang kemudian beralih ke sektor industri. Negara berkembang akan membangun industri yang beragam dan bekelanjutan seperti industri tekstil dan logistik. Dengan industri negara dapat mengembangkan diversifikasi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru bagi penduduknya.
Ketika industri terkonsolidasi kembali, negara tersebut kemudian dapat beralih ke sektor jasa. Di negara maju, sektor jasa menjadi dominan dan berkontribusi besar terhadap ekonomi. Sektor jasa yang beragam dibangun seperti sekolah, universitas, rumah sakit, bank, pariwisata dll. Dengan ini, negara dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih berkualitas. Orang akan selalu fokus pada pengembangan SDM.
Pola ini sejalan dengan apa yang diutarakan Joko Widodo. “Kita harus bertransformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern, yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Pidato Presiden RI pada Sidang Paripurna MPR: Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2019-2024, 20 Oktober 2019).
Posisi Indonesia masih berada di tahap industri manufaktur menuju jasa. Sektor pekerjaan Indonesia terus berkembang dari pertanian tradisional, manufaktur hingga ke jasa.
Bangsa Indonesia bisa naik level, karena negara-negara maju mempekerjakan buruh untuk mengekspor barang industri. Dengan begitu, lapangan kerja banyak tercipta. Para pekerja bisa mendapat upah layak (tinggi). Ini tentu berimplikasi pada daya beli yang kemudian mengungkit sektor bisnis. Siklus ini terus berputar, reoda ekonomi berjalan lancar, masyarakat sejahtera. Sekilas ini terkesan utopis. Namun, dari perspektif global kondisi tersebut juga bisa membahayakan. Sebab, di negara berkembang seperti Indonesia, upah buruh yang kompetitif bisa menjadi senjata. Upah yang terlalu tinggi dan tidak diiringi dengan keterampilan yang cukup, maka negara-negara maju pasti akan memilih buruh dari negara lain yang jauh lebih murah.
Skenario seperti ini sudah terjadi di Amerika Latin seperti Brazil dan Afrika Selatan. Saat itu, buruh tidak mendapat pekerjaan, dan kondisi negara belum cukup mandiri. Situasi semacam itu yang akan menghambat sebuah negara untuk naik level menjadi negara berpenghasilan tinggi. Dari fakta-fakta dan analisis tersebut, Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto berinisiatif mendorong Omnibus Law ke hadapan DPR, untuk memudahkan investasi, sehingga dapat membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk mempekerjakan buruh-buruh di Indonesia.

4,184 Komentar