WALENGKABOLA, THE OPPOSITE OF PROGRESS

Meskipun pengalaman dan preferensi orang bisa bervariasi, healing di kampung halaman bisa jadi sangat menguntungkan. Di kampung sering kali menawarkan lingkungan yang jauh lebih tenang dan alami dibandingkan dengan perkotaan. Udara segar, kehijauan, dan ketenangan alam dapat memberikan rasa ketenangan dan mengurangi stres.

Tinggal di kampung, kualitas hidup sebagai seorang anak manusia bisa lebih baik. Disini kita kembali ke fitrah, menjadi manusia seutuhnya. Biaya hidup juga lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Harga tanah, properti, dan kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan transportasi bisa diatur secara kekeluargaan. Selain itu, desa juga bisa menawarkan sumber daya alam yang melimpah, seperti sumber air bersih, pertanian, atau peternakan, yang dapat mendukung kualitas hidup yang lebih baik. Yang penting tidak malas, jika sedang bangkrut tidak punya uang, kita bisa mencari seafood saat laut sedang surut, lalu petik kelor di darat dan rebus ubi di bawah kolong rumah nenek.

Di kampung kita belajar menjalin hubungan sosial yang kuat. Kehidupan di kampung sering kali didukung oleh komunitas yang erat. Orang-orang di kampung saling baku kenal dan membentuk hubungan yang kuat lewat pengalaman bersama. Ini menciptakan ikatan sosial, rasa kebersamaan, dan solidaritas dalam menghadapi tantangan atau kesulitan.

Hidup dikampung bisa memberi kita pemahaman sesungguhnya tentang sustainable environment. Orang kampung kebanyakan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan alam dan lingkungan. Masyarakat di sana tidak bergantung pada fluktuasi saham dan inflasi tetapi pada pertanian, peternakan, dan sumber daya alam lainnya (yang jelas bukan menambang). Dengan karakteristik itu, kesadaran akan keberlanjutan lingkungan seringkali lebih tinggi, dengan praktik-praktik yang mendukung pengelolaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam.

Gaya Hidup nyentrik tapi tetap sederhana dan down to earth. Hidup di kampung halaman yang kurang tergantung pada konsumsi dan tekanan sosial untuk memiliki barang-barang material sangat membantu mengurangi tekanan dan fokus pada hal-hal yang lebih penting, seperti hubungan sosial, keluarga, dan keseimbangan hidup.

Noona act like a doctor, taking care of Tedy Malika, her own baby doll.

Memang, tidak dapat kita pungkiri bahwa kehidupan di kampung juga memiliki tantangan dan keterbatasan tersendiri, seperti akses terhadap layanan kesehatan sangat kurang dan pendidikan yang sangat super duper terbatas, kurangnya peluang kerja yang kompetitif, dan aksesibilitas transportasi yang lebih terbatas.

Ada satu teori terkait pernyataan itu yang disebut Urban-Rural Linkages (Hubungan Perkotaan-Perdesaan). Teori ini menekankan pentingnya hubungan yang saling terkait antara perkotaan dan perdesaan. Perkembangan perkotaan dapat memberikan peluang bagi desa-desa di sekitarnya dalam hal akses pasar, teknologi, informasi, pendidikan, dan layanan lainnya.

Contoh, adanya aksesibilitas yang meningkat melalui transportasi yang lebih baik antara perkotaan dan perdesaan dapat memfasilitasi perdagangan dan pertukaran barang dan jasa antara kedua wilayah tersebut. Selain itu, transfer teknologi dan pengetahuan dari perkotaan ke desa juga dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan desa dalam mengembangkan sektor ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.

Teori itu jika diimplementasikan, bagus. Memang. Tetapi jangan sampai memberangus karakteristik dan cara hidup orang di desa. Biarlah desa berkembang secara organik.

Menyikapi tergusurnya sisi tradisionalitas kita oleh gelombang modernisasi, desa-desa kita butuh seorang pemimpin atau kepala desa seperti John Dutton. Seorang karakter pemimpin yang berani mempertahankan the way of life.

Bahkan di saat musim kampanyenya dalam pemilihan Gubernur Montana, John Dutton tidak merayu, mengemis atau menyogok untuk mendapat suara. Ia mengultimatum. Dalam pidatonya, dia bilang: “If it’s progress you want, then don’t vote for me. I am the opposite of progress. I am the wall it bashes against, and I will not be the one who breaks”.

Noona ke sekolah.

Ia ingin orang-orang Montana tetap menikmati matahari terbit dan tenggelam di balik pegunungan, bukan di balik gedung-gedung pencakar langit. Ia ingin anak-anak Montana bebas bermain dialiran sungai yang jernih.

Di Walengkabola, dari kejauhan saya merasakan ada nuansa semacam Yellowstone. Pagi yang simfoni, matahari yang diam- diam meninggi dari kaki langit, kicau burung dan bunyi tempias ombak di pasir pantai.

Ini momen Noona’s first day at school. Semoga dia bisa menyerap banyak pengalaman, memupuk semangat juang, belajar bersosialisasi dan mengenal budaya leluhurnya selama hidup di desa.
Saya akhiri ulasan kali ini tentang Sosiologi Perdesaan dengan satu kutipan dari seorang senior: “Di desa saja kota apalagi di rame”.

Komentar ditutup.