Saya mau bercerita tentang “ke-jagoan-an” Gajah Mada. Sepertinya orang jago seperti Gajah Mada sudah tidak dilahirkan lagi di bumi nusantara kita.
Secara eufimistik, Gajah Mada seperti Jon Snow dalam the Battle of Bastard di serial Game of Throne. Sosok yang muncul dari zero menjadi hero. Keberaniannya seperti Achilles dalam Troy. Gaya bertarungnya seperti Leonidas, Raja Sparta yang membuat pasukan Xerxes ngompol di celana.
Saya mau ibaratkan seperti Syaifullah Khalid Ibn Walid, saya tidak berani, jangan sampe saya talewa-lewa. Karena yang saya sebutkan tadi hanya felem. Selain itu, Khalid masih menjadi karakter nyata favorit saya sepanjang masa, di bidang perbakupukulan.
Tiba-tiba tertarik menyelami kisah Gajah Mada karena beberapa bulan terakhir saya belajar Wawasan Kemaritiman di kampus. Ternyata, secara historikal, semangat dan visi Global Maritime Fulcrume Indonesia saat ini tak lepas dari sepak terjang Gajah Mada dan kejayaan Majapahit.
*
Saat itu, Raja Majapahit adalah Jayanegara. Mahapatih-nya adalah Arya Tadah. Di bawah komando Mahapatih ada tiga orang Temenggung, ini semacam jenderalnya. Ada Temenggung Banyak Sora, ia memimpin pasukan Jalapati. Temenggung Pujut Luntar, memimpin pasukan Jala Rananggana, dan Temenggung Panji Watang yang mengomandoi pasukan Jalayuda. Masing-masing pasukan ini ribuan jumlahnya dan memiliki skill baku hantam dan baku potong yang khas. Istilah tradisionalnya, mereka punya reputasi olah kanuragan yang tinggi.
Ketiga pasukan ini Tupoksinya adalah baku tikam dan baku tombak. Reputasi para pasukan Jala ini pernah diuji bala tentara Genghis Khan. Namun, sekeras-kerasnya rahang pasukan Mongol belum bisa da gilas pasukan Majapahit.
Lalu, di manakah posisi Gajahmada?.
Waktu itu, ia berpangkat Bekel. Secara struktural, levelnya jauh berada di lapis bawah Temenggung. Bahkan kadang ia diremehkan dan dianggap bagai butiran debu saja oleh para Temenggung. Dalam struktur Majapahit, Bekel memang punya posisi penting, karena bertanggung jawab urus keamanan dan ketertiban dalam wilayah kerajaan. Semacam Polisi lah.
Saat itu Gajahmada memimpin pasukan kecil-kecilan, nama kesatuannya Pasukan Khusus Bhayangkara. Seperti Paspampres. Tugasnya kawal Raja Sri Jayanegara, keluarganya dan para istri-istrinya. Kalo tuan putri mau mandi di Kali atau pergi di warung, Bhayangkara di utus untuk pengamanan dan kasi minggir-minggir orang.
Anak buah Gajahmada diantaranya; Lembu Pulung, Lembang Laut, Riung Samudera, Gajah Pradamba, Singa Parepen, Macan Liwung, Gagak Bongol dan masih ada lagi yang lain. Saya masih penasaran, kenapa ada tren saat itu, menggunakan nama hewan sebelum nama belakang. Dan selalunya nama hewan yang digunakan keren-keren, tidak berkonotasi negatif dalam pemaknaan era postmodern ini. Nanti kita cari referensinya.
Perkembangan teknologi saat ini memang membuat sebagian kita kagum. Tetapi saya justru seribu kali lebih kagum dengan peradaban dulu. Untuk membaca cuaca, orang dulu tidak butuh teknologi dari BMKG. Cukup melihat pola awan yang terhambur di langit mereka dapat menebak hujan, ketinggian gelombang di laut dan potensi badai.
Satu survival skill yang jarang dimiliki manusia sekarang adalah pengetahuan tradisional. Sebagian pengetahuan itu dianggap tabu, mitos dan takhayul hanya karena tidak logis. Sebagai contoh, kemampuan mengendalikan hujan, istilah kerennya pawang hujan. Orang modern mungkin menganggap itu kemampuan sihir atau paling ekstrim bersekutu dengan Jin. Padahal bisa saja kemampuan orang mengendalikan hujan lewat ritual dan mantra-mantra itu ada penjelasan ilmiahnya. Keterbatasan instrumen pengetahuan manusialah yang belum sampai memahami itu. Manusia adalah bagian dari alam itu sendiri. Menyatu dengan alam. Di dalam alam semua unsur dan elemen memiliki ketergantungan dan keterkaitan.
Untuk menjelaskan itu, ada analogi yang digunakan oleh matematikawan dan meteorolog Amerika Edward Lorenz pada tahun 1960-an yaitu istilah “butterfly effect“. Istilah ini pernah dipakai Rocky Gerung mengganyang lawan debatnya di ILC. La Lorenz bilang kalo gerakan sayap kupu-kupu di Brazil bisa memicu perubahan cuaca jauh di Amerika Serikat. Analogi ini dikembangkan untuk menggambarkan bahwa perubahan kecil di satu tempat atau waktu dapat mempengaruhi hasil akhir yang jauh berbeda. Jadi, satu gerakan kupu-kupu yang lemah dan lunglai itu, bisa jadi bencana badai Katrina di kampungnya Donald Trump.
Nah, kemampuan inilah yang dimiliki Mahapatih Arya Tadah. Kemampuan dan sensitifitas membaca fenomena alam.
Pada suatu malam yang gelap dan dingin dan sunyi lagi horor, ia terkejut karena kabut yang menyelimuti Majapahit nuansanya berbeda. Ia keluar, mencoba menggapaikan tangannya ke udara. Meraba-raba. Ia merasa beda. Penuh khusyuk ia hirup udara malam. Pelan-pelan masuk ke dalam rongga dadanya. Saat itu belum banyak tambang China, jadi belum banyak radikal bebas. So, aman-aman saja menghirup udara.
Sambil berdiri di tengah malam buta, pikirannya melanglang buana. Melompat ke abad-abad lampau di era Singasari. Maklumlah, Arya Tadah sudah buyut. Pikirannya membongkar semua file-file pertempuran di kepalanya pada zaman itu. Ia temukan, ia pilah. Setelah ia analisis dengan metode mix kualitatif dan kuantitatif, ia tiba pada satu deduksi. Bahwa disetiap pertikaian, pemberontakan, perebutan takhta di era Singasari selalu diawali dengan malam yang dinginnya menusuk belulang dan kabut pekat seperti ini. Ia berfirasat, berkesimpulan besok pagi pasti ada kacau balau di Majapahit. Sepertinya ada yang hendak bunuh Jayanegara. Ada yang makar.
Sebagai Mahapatih ia bertanggung jawab. Pusing Arya Tadah. Mana sudah renta. Walaupun ilmu kanuragannya tinggi, fisiknya sudah tidak mampu. Satu-satunya ilmunya yang belum pudar adalah wisdom. Tidak mau pusing sendiri, Arya Tadah memanggil Gajah Mada. Gajah Mada masih muda. Badannya masih kekar dan lincah seperti Mbappe di PSG.
Setelah di ceritakan Mahapatih, pusing itu menular ke Gajah Mada. Tengah malam, orang mau tidur, malah dibawakan pikiran sama bos, mana nda ada kopi waktu itu. Taputar otaknya Gajah Mada. Arya Tadah lalu mengeluarkan ilmu andalannya: wisdom. Ia berujar, dimana-mana orang yang berkhianat itu pasti orang terdekat. Mulailah mereka absen ring satu raja di luar mereka berdua.
Muncul nama para Temenggung, Banyak Sora, Pujut Luntar, Panji Watang. Tapi, setelah meraka pikir-pikir sepertinya tidak mungkin mereka. Mereka sudah punya jabatan tinggi dan mereka dikenal berintegritas. Lalu muncul para Winehsuka, seperti Ra Kuti, Ra Tanca et al. Tapi mereka pikir lagi tidak mungkin. Baru-baru mereka dikasi penghargaan tertinggi Winehsuka oleh Jayanegara di lingkup istana. Winehsuka ini semacam kesatuan pasukan elit juga, bertugas mengamankan istana dan wilayah kerajaan. Gelar Winehsuka ini cukup bergengsi kala itu.
Tambah taputar lah Arya Tadah dan Gajah Mada dalam mengidentifikasi pengkhianat.
Tidak menemukan solusi, maka ditugaskanlah Gajah Mada untuk menemui para panglima perang kerajaan (Tumenggung) itu guna mencari sosok pengkhianat. Ia membawa lencana Mahapatih Arya Tadah. Siapapun yang memegang lencana itu, berarti ia bertindak atas nama Mahapatih.
Dengan sigap, Gajah Mada balik haluan, pulang ke mabes, kumpul pasukan, briefing, senyap. Gajah Mada bukan hanya jago baku hantam, tetapi juga cerdas. Layaknya membuat paper ilmiah, terstruktur, Gajah Mada memulai aksinya dengan Bab 1 Pendahuluan, yakni mengutus telik sandi ke markas tiga pasukan para Tumenggung.
Tidak lama, datanglah tiga mata-mata Bhayangkara membawa kabar siapa pengkhianatnya.
Tapi karena saya sudah lapar dan kerongkongan telah kering nti lagi saya ceritakan kelanjutanya.
Bersambung….
3,631 Komentar