Jadilah Homo Deus, Bukan Homo Bareng

Ada satu masa, dimana untuk menyambung napas manusia harus makan kotoran seperti anjing, terkadang berebut meminum darah yang mengalir saat sapi dan kerbau disembelih. Di episode lain, ada manusia yang mati ramai-ramai layaknya hama yang diracun. Kengerian itu tak berhenti disitu, jutaan nyawa manusia pernah tumbang akibat saling bunuh antar sesama.

Dari zaman Mesir Kuno, tiga hal itu selalu mengiringi perjalanan manusia hingga abad modern ini. Kelaparan, wabah dan kekerasan telah menjadi bagian integral dari rencana kosmis Tuhan. Sepertinya alam yang kita tinggali ini belum sempurna, sehingga perlu terus ada gejolak untuk menemukan bentuknya yang ideal. Mungkinkah hingga akhir zaman nanti kita tidak akan pernah lepas dari itu.

Kita baru saja selesai dari covid. Tiba-tiba saja Putin mengamuk di Ukraina, padahal baku temba di Suriah belum selesai. Kita menoleh ke Afrika, Sudan, Etiopia dll, masih banyak yang belum makan. Dari kemelut yang berkepanjangan itu, mari kita berandai-andai dengan satu pertanyaan ini “Apa yang akan kita lakukan jika di dunia ini sudah tidak ada yang miskin, tidak ada lagi penyakit, semua bersaudara dalam perdamaian?”. Analoginya seperti ini; kalo tida ada kebakaran, apa dorang bikin itu pemadam kebakaran di?. Bukankah sebagai objek layanan publik, kita tidak mendapat transparansi soal itu.

Saya mendapat jawaban yang menarik, sekaligus ngeri-ngeri sedap setelah membaca 27 halaman pertama dari buku “Homo Deus” yang ditulis Harari.

Kita tidak lagi mengalami bencana kelaparan semasif dulu akibat dari kebodohan. Kalaupun masih ada, kelaparan itu pasti disebabkan oleh ulah politikus ketimbang bencana alam. Kenyataannya sekarang adalah lebih banyak yang mati karena kenyang, isitilahnya “sesendok gula jauh lebih berbahaya dari bubuk mesiu”. Lebih banyak yang mati karena ketuaan, dan lebih banyak yang mati bunuh diri ketimbang dibunuh tentara atau teroris atau penjahat.

Adanya pemerintahan dan badan NGO membantu menyiapkan kalori harian bagi yang kelaparan. Perkembangan teknologi kedokteran berhasil menemukan vaksin covid. Dan senjata-senjata nuklir yang belum pernah atau berani ditembakkan.

Kemanusiaan kita perlahan-lahan merangkak naik dari level kebinatangan, jika dilihat dari sepanjang sejarah peradaban manusia. Meskipun masih banyak perilaku biadab yang dipertontonkan, namun pencapaian ras manusia di abad ini terbilang lumayan dalam konteks survival.

Manusia pada masa sekarang memiliki potensi untuk mengubah dirinya menjadi entitas yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih awet daripada manusia modern saat ini. Dengan menggunakan teknologi, manusia di masa depan bahkan dapat mencapai keabadian dan mengontrol kehidupan di planet ini.

Umat manusia mencapai prestasi mengagumkan, berhasil mengatasi kelaparan, menemukan vaksin dan bernegosiasi dalam peperangan. Reaksi paling umum pikiran manusia pada prestasi adalah bukan kepuasan, melainkan mengejar lebih banyak. Kita cenderung mencari sesuatu yang lebih besar, lebih baik dan lebih nikmat. Kesuksesan akan menumbuhkan ambisi. Prestasi yang diraih akan memunculkan tujuan baru yang lebih berani dari sebelumnya.

Setelah menciptakan kemakmuran, kesehatan dan harmoni, maka tantangan selanjutnya umat manusia adalah imortalitas dan keilahian. Manusia di masa depan mengincar keabadian. Bagaimana mengatasi usia tua, bahkan kematian.

Ras kita berusaha mengubah kapasitas manusia menjadi dewa. Dari homo sapiens menjadi homo deus.

“Homo Deus” adalah sebuah frasa Latin yang artinya adalah “Manusia yang menjadi Tuhan” atau “Manusia yang Ilahi”. Istilah ini merujuk pada ide bahwa manusia telah mengalami kemajuan signifikan dalam sejarah dan saat ini sedang berusaha untuk mencapai kesempurnaan melalui pengembangan teknologi, seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, dan nanoteknologi.

Bioteknologi dan nanoteknologi saya sudah lihat prototype-nya di filmnya Van Damm dan G.I Joe the Rise of Cobra.

Meskipun masih versi gratisan, saya sudah memanfaatkan AI, untuk men-design penelitian tesis saya. Dan bagi saya ini yang menarik. Teknologi kecerdasan buatan (AI), akan memengaruhi pekerjaan manusia dan struktur masyarakat di masa depan. Harari juga membahas tentang kemungkinan adanya transhumanisme, yaitu sebuah konsep di mana manusia dapat memperbaiki kemampuan tubuh dan otak mereka dengan teknologi.

Sains modern dan kultur modern memiliki pandangan berbeda tentang kehidupan dan kematian. Kematian hanyalah masalah teknis yang bisa dipecahkan. Dan setiap masalah teknis selalu memiliki solusi teknis. Misi andalan sains modern adalah mengalahkan kematian dan memberi manusia usia muda abadi.

Ulasan Harari dalam Homo Deus sangat intens menguliti bagaimana manusia mengambil alih kendali atas evolusi dan menciptakan masyarakat yang semakin didominasi oleh teknologi.

Harari menggunakan pendekatan interdisipliner yang mencakup sejarah, filosofi, sains, dan teknologi untuk membahas topik-topik yang sangat penting seperti kecerdasan buatan, penggabungan manusia dengan mesin, bioteknologi, dan potensi kehidupan abadi.

Saya mendapatkan perspektif yang berbeda tentang masa depan manusia. Ada banyak gambaran tentang bagaimana manusia dapat menavigasi tantangan-tantangan baru yang dihadapi dalam era teknologi yang semakin maju ini. Harari juga menekankan pentingnya refleksi moral dan etika dalam menggunakan teknologi.

Namun, di sisi lain, buku ini juga menuai kritik dari beberapa pihak karena terlalu futuristik dan cenderung berlebihan dalam membayangkan masa depan manusia. Selain itu, beberapa orang juga mengkritik cara Harari menafsirkan sejarah dan agama.(*)

Komentar ditutup.