Memaklumi Rezim AMAN Lewat “Sang Arsitek Sultra Raya”

Setelah membaca “Sang Arsitek Sultra Raya,” saya baru agak memaha­mi apa yang menjadi alasan rezim Ali Mazi-Lukman begitu berambisi mem­bangun karya monumental, di tengah suara-suara minor yang mendengung­kan isu priority.

Dua pasangan itu memberi kesan ingin keluar dari dominasi pemikiran bahwa kesejahteraan masyarakat akan terwujud manakala semua instrumen kebijakan saling sinergi menggerakan roda ekonomi. Nampaknya Ali Mazi dan Lukman punya rute keyakinan agak berbeda. Mereka hendak merefleksikan Sulawesi Tenggara yang berperadaban modern. Melalui pendekatan budaya, AMAN memulainya dengan memban­gun infrastruktur modern.

Apa yang mampu saya baca selama ini dari gerak-gerik pasangan tersebut sangat media oriented. Tentang 3 mega proyek misalnya, pemberitaan media condong menyajikan bagaimana daya kuras proyek tersebut terhadap angga­ran, serta dampak-dampak yang masih sebatas keraguan atau keengganan ke­luar dari zona nyaman.

Kerusakan, ketidakaturan, ketidaknyamanan, pemborosan dan lain sebagainya, sebagian melihatnya sebagai imbas, bukan sebuah proses perjalanan menuju tujuan yang sebe­narnya.

Di buku yang terbit pertama pada September 2021 itu, saya membaca visi Sultra Raya 2020, yang rupanya sudah melewati deadline. Itu berarti pemerin­tahan AMAN sudah memulai langkah­nya. Saya yakin rezim AMAN sendiri pun sadar jika programnya tidak akan terwujud dengan sekedip mata.

Periode lima tahun bukan waktu yang panjang untuk mewujudkan visi AMAN secara paripurna. Terlampau singkat untuk mewujudkan tatanan komunitas sosial yang utopis dengan keragaman kultur di Sulawesi Tenggara. Namun setidaknya Ali Mazi-Lukman telah meletakkan fondasinya. Mereka telah memulai langkah pertamanya dan menaruh harap, generasi selanjut­nya meneruskan, tidak mengamputasi langkah itu.

Bahkan, saat ekspos 4 tahun kepemimpinan AMAN yang lalu, Gu­bernur Ali Mazi mengungkapkan, bahwa ia bersama jajarannya tengah berburu dengan waktu. Di sisa waktu tinggal setahun, ia mendesak apara­turnya melakukan lompatan berpikir agar dengan cepat merampungkan pekerjaan yang belum selesai.

Pada kesempatan ekspose sebelum­nya, Ali Mazi jujur mengakui sektor-sektor yang belum tuntas ia selesaikan. Misalnya dari sektor produksi lapangan usaha, pertanian, perikanan, dan kehu­tanan. Bagaimana kontribusinya ter­hadap PDRB masih perlu upaya keras untuk ditingkatkan.

Indikator ekonomi makro yang dipa­parkan Gubernur Ali Mazi lainnya ialah pertumbuhan ekonomi, pengangguran terbuka dan ketimpangan pendapatan, ini merupakan isu-isu kontemporer yang tidak pernah usang untuk didis­kusikan sejak zaman orde baru. Belum ada pendekatan mutakhir yang dilaku­kan rezim untuk mengatasinya.

Sultra Raya 2020
AMAN percaya pada potensi keraga­man budaya (culture) Sulawesi Teng­gara. Dalam konsep pembangunannya, rezim AMAN memasang standar tinggi di atas sekadar berbudaya, yakni civi­lized (beradab, atau berperadaban).

Sepertinya, di dalam benak AMAN, titik tumpu konstruksi Sultra Raya 2020 terletak pada struktur budaya dengan mengandalkan individual changing, in­stitutional transformation dan physical appearences sebagai sokoguru. Ketiga struktur tersebut akan saling memberi pengaruh.

Individual changing dimaksudkan terjadi perubahan mindset individu terhadap isu-isu paradigmatik. Sedan­gkan institutional transformation ialah pembentukan kelembagaan, nilai-nilai dan sistematisasi. Physical appearences menghendaki terwujudnya perubahan pada tampilan fisik.

Alurnya, cara berpikir dan bersikap akan menghasilkan pola tertentu yang mem­bentuk lembaga dan kerja lembaga dapat menghasilkan produk-produk fisik.

Yang paling relevan dan tertanam dalam memori kolektif publik adalah struktur yang terakhir. Struktur physical appearences setidaknya menunjang visi AMAN, lantas menjadi proyek favorit (Jalan wisata, RS. Jantung dan Modern Library) yang merupakan jualan politik AMAN saat berkampanye dulu. Itulah sebabnya mereka begitu getol ingin menuntaskan apa yang pernah dilem­parkannya ke muka publik. Ali dan Luk­man berupaya membuktikan apa yang pernah mereka katakan. Entah selesai atau tidak, itu urusan belakang. Memu­lainya jauh lebih penting.

Saya jadi terkenang apa yang dikata­kan Jon Snow di serial Game of Thrones. “When enough people make false promises, words stop meaning any­thing.” Pemimpin adalah orang-orang yang menulis sejarah. Jika pemimpin tak bisa memegang janjinya, maka ka­ta-kata tidak akan ada artinya di masa depan. Itu bukan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Kita harus pahami bahwa dua putra daerah itu se­dang berjibaku melunasi janji-janjinya.

Rezim terlihat bersemangat mem­bangun infrastruktur fisik dan media berlomba dalam pemberitaan karena struktur inilah yang paling cepat dili­hat hasil pembangunannya. Sedangkan kedua struktur lain; individual chang­ing dan institutional transformation tidak terlalu nampak karena sifatnya yang kasat mata.

Saya tidak melihat terobosan yang mencengangkan pada dua struktur ini seperti halnya mega proyek. Inilah celah yang harus segera ditutupi oleh rezim disisa masa pemerintahannya dan menjadi tugas rezim selanjutnya. Meskipun angka IPM Sultra termasuk baik, berada pada angka 77,66 poin berdasar pada paparan gubernur di ek­spos yang lalu, namun itu belum detail menggambarkan realitas welfare (ke­makmuran) dan well-being (kesejahter­aan) secara materil.

Di atas kertas, dari buku “Sang Arsitek Sultra Raya” saya menemukan hal-hal teoritis, sangat ideal. Namun, di dunia nyata proses implementasi tidak ses­ederhana dan serasional yang tertulis. Ada banyak tantangan yang dihadapi, antara tuntutan publik, solusi dan ke­inginan politik saling berbenturan. Peristiwa elektoral akan kita jelang di 2024, mari doakan para pemimpin kita. Tabe.

Komentar ditutup.