Kadamban & Wawonii: Pertempuran Kapitalisme Melawan Lokalitas

Nonton film adalah salah satu hobi saya, yang nirfaedah. Memang hobi itu sebaiknya pilihlah yang bermanfaat. Tapi untuk ini teapa-apa mi.

Kadamban adalah film India. Yang saya suka dari sinema Bollywood adalah totalitas karakter jagoan. Ending-nya jarang bikin saya kecewa. Sutradara di sana kalo bikin peran jagoan, jagonya minta ampun nene moyang. Biar dikepung penjahat satu kecamatan, jagoan tidak bisa kalah.

Logika saya korslet lihat adegan baku pukulnya. Nalar saya meronta melihat aksi Ajay Devgan tempeleng preman langsung tapantul-pantul seperti pingpong. Inspektur polisi pernah mengiris leher penjahat hanya pake satu buah pisang. Ini adalah PR besar bagi para scientist bagaimana menjelaskannya secara empirik.

Suatu waktu, saat hanyut dalam adegan kelahi, saya sampai tiba dalam satu teori karang-karang bahwa memahami tiap adegan baku hantam di film India mungkin persis dengan cara kita beragama. Anda tidak melihat tuhan, tapi yakin akan eksistensinya, lewat segala bentuk ciptaan. Dengan keyakinan itu Anda percaya tuhan maha segala-galanya.

Begitu juga memahami jagoan India, ketika sudah ditodong ratusan senjata api dari segala penjuru, tidak usah takut dia akan mati, Anda harus yakin dia itu jagoan. Sumpah, tidak akan kena peluru.

Kalo kalian takjub, terkesima bahkan memberi standing ovation lihat adegan mobil berjatuhan dari atas gedung dalam Fast & Furious 8, maka film India akan membikin kita kehilangan kata-kata dengan adegan mobil jemping. Jeep melaju kencang, menghantam gerobak, lalu terbang, sedangkan sang jagoan nyantai rebahan di atas kap mesin. Sungguh, kalo Toretto lihat adegan ini, dia pasti merasa diri sebagai tai kuku.

Ada pula adegan kuda sleding di aspal yang berusaha melintasi truk kontainer, bikin otak saya ikut taseret. Seharusnya kuda itu langsung ganti kulit, tapi nyatanya dia sehat wal afiat.

Aksi lari vertikal hendak men-jolo madu.

Dalam Kadamban, adegan absurdnya juga ada. Dari atas jurang, sang tokoh utama terjun bebas. Semacam melakukan free sky diving. Alat pengamannya hanya satu utas akar pohon saja. Ia bergelantungan ke sana kemari, lalu berlari vertikal di dinding jurang. Saya yakin kalo Usain Bolt lihat adegan ini, ia pasti langsung resign jadi pelari, minder dengan aksi Tarzan dari Tamil itu. Dalam hati saya, “kurang kerjaan bagaimana ini orang, jogging di lintasan vertikal begitu,” rupa-rupanya dia mau jolo madu.

Seorang kawan menegur, “ahh untuk apa nonton film begitu, nda maso akal.” Bagi saya, justru keabsurdan itulah yang menjadi hiburannya. Karena memang saya juga tak berencana memasukannya dalam logika saya. Saya sarankan, kalo teman-teman sedang dilanda depresi, nontonlah India.

Baiklah, bukan disitu inti catatan ini. Mari kita pura-pura serius sejenak dua jenak.

Dari sisi cerita, Kadamban terlihat datar-datar saja tanpa plot twist mencengangkan. Konfliknya biasa. Namun, saya melihat Kadamban telah berhasil menunjukkan satu realitas dinamika kehidupan di kampung halaman kita, di sebuah pulau di tepi lautan Banda, Wawonii.

Kadamban mengisahkan perjuangan komunitas Tamil mempertahankan hutan adat dan kebun-kebun mereka dari ambisi korporasi. Berganti generasi, mereka menggantungkan hidup pada alam. Kententraman hidup mereka kemudian tercabik oleh kehadiran korporasi yang hendak mengeksploitasi.

Lobi-lobi dilancarkan. Dengan menawarkan gaya hidup yang lebih modern, korporasi berupaya merelokasi penduduk yang berdiam di dalam hutan. Namun upaya itu gagal, cara represif tak dapat terhindarkan. Korporasi memberdayakan Ranger Hutan untuk mengusir paksa dengan alasan konservasi, lalu berkongkalikong dengan pejabat berwenang untuk legalitas operasional.

Masyarakat Kadamban dan korporasi mempunyai perbedaan prinsipil tentang kenyamanan hidup. Korporasi beranggapan penduduk di dalam hutan Kadamban primitif, hidupnya liar dan barbar, sangat kontras dengan suasana kenyamanan di perkotaan. Padahal, ukuran kenyamanan bukanlah isu geografis, akan tetapi bagaimana cara kita menjalani hidup.

Dengan menawarkan uang ganti rugi, kompensasi segala macam, mungkin bisa menghidupi mereka untuk satu dua hari. Pada akhirnya mereka telah kehilangan tumpuan hidup. Tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Mereka tidak bisa beranjak ke pola hidup perkotaan yang individual, matrealistis dan konsumtif. Karena mereka adalah alam itu sendiri.

Nurani masyarakat adat bergeming. Tak sejengkalpun mundur untuk mempertahankan tanah leluhur. Kadamban telah merefleksikan satu fenomena egosentris korporasi seperti yang terjadi di Wawonii.

Saya tidak perlu membahas panjang lebar tentang apa yang terjadi di pulau kelapa Wawonii. Anda tinggal browsing di Google saja. Intinya adalah terjadi sengketa antara pihak korporasi tambang dan masyarakat setempat.

Dari pedalaman Kadamban di selatan India hingga Wawonii di tenggara Sulawesi, telah menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman kapitalisme dalam sistem bernegara. Melalui kapitalisme, negara hendak mendobrak daya saing ekonomi di pentas global, lalu mengesampingkan ekonomi rakyat kecil yang mengandalkan hidup dari bercocok tanam.

Dengan kapitalisme dompet negara dan gerombolan elit kian menebal, dengan jalan melenyapkan sumber penghidupan orang Kadamban atau membumihanguskan tradisi berkebun jambu mete penduduk Wawonii. Bagi kapitalisme, alam adalah komoditas.

Dalam kapitalisme, tak jarang masyarakat selalu menjadi yang dikorbankan. Mereka tidak memiliki beking yang kuat, karena politisi, pejabat, elit ada dalam daftar gaji korporasi.

Aksi massa menolak kehadiran tambang di pulau Wawonii (March, 2019)

Saya teringat apa yang dikatakan Bob Hugua, mantan bupati Wakatobi yang kini jadi anggota DPR RI, bahwa di dalam mindsetnya, pertumbuhan ekonomi tidak melulu hitungan matematis. Ia berpendapat ekonomi akan meningkat seiring dengan peningkatan dan pembangunan kebudayaan.

Oleh karena itu, pemerintah maupun korporasi harus berbicara pada level manusia dan budaya serta kelestarian SDA. Yang terjadi selama ini, mereka muncul dengan peraturan positif kemudian mengingkari keberadaan masyarakat adat yang telah lama hidup dengan tatanan nilai sosial sendiri.

Benturan kedua hal tersebut seharusnya dapat terhindari dengan mengganti paradigma, beralih dari prinsip yang transaksional ke prinsip yang lebih arif terhadap kebudayaan.

Cara penduduk Kadamban dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan dari alam, atau kebersahajaan penduduk Wawonii mengolah kebun-kebun adalah bentuk kebijaksanaan yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Coba tanyakan, di manakah daerah yang penduduknya sejahtera dengan kehadiran tambang di wilayah itu. Sebab dalih kesejahteraan menjadi isu sentral pemerintah memberi lampu hijau pada korporasi. Gaji jutaan menyebabkan industri ini menggiurkan, memang sangat seksi, namun turut membawa dampak pada aspek ekologi dan sosial.

Pandangan elit terhadap kesejahteraan juga sangat sempit. Mereka menilai kesejahteraan sebatas pemenuhan kebutuhan pokok saja. Yang penting bisa makan. Lalu melupakan hak-hak dasar lain sebagai manusia, seperti hak menghirup udara bersih, hak hidup di lingkungan yang tenang dan bebas serta nyaman memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Dalam proses kontemplatif menulis ini, saya jadi terkenang pertanyaan fundamental seorang adik, “apakah itu kapitalisme?”. Lalu saya jawab “kalo Mama da suru ko cuci piring, tapi ko minta imbalan sepulu ribu.”

Atau

Anda bisa melihat pertarungan dua individu bermental kapitalis dalam satu mop Papua Epen Cupen.

Bapak: Etus, ko beli bapa roko dulu.

Etus: Ahh,,,bapa, sa lagi barmain ini!, Bapa suru anak lain suda.

Bapak: Etus, ko bli bapa roko, nanti bapa kasi sribu.

Etus: Bagaimana, kalo sy kasi bapa dua ribu, bapa pi bli sendiri.

Bapak: Kurang ajar anak satu ini e…

Dalam kapitalisme, siapa pemilik modal terbesar dialah yang akan keluar sebagai pemenang.

3,135 Komentar