Fotografi Sebagai Agitasi dan Propaganda

Foto yang menjadi headline pada topik ini adalah masa penjajahan. Berdasarkan keterangan dari sumber foto: eenvandaag.avrotros.nl, Verzets Museum melalui akun @Album Sejarah Indonesia, peristiwa tersebut terjadi pada masa 1945-1949. Bersama 179 foto lainnya, foto itu ditemukan Joost Lamboo, seorang petugas Museum Verzets di Belanda.

Kita sedang menyaksikan kenyataan sadistik, dua pemuda pribumi (Indonesia) dan masih terlihat berusia belasan tahun, gugur di dalam lubang galian.

Kita tidak sedang membahas kebrutalan agresi militer Belanda, tetapi tentang daya magis fotografi. Di balik perasaan yang tiba-tiba membangkitkan naluri Anda ketika melihat foto itu, disitu ada peran fotografis.

***

Pada awal fotografi pertama kali ditemukan, langsung mendapat posisi yang unik dan multifungsi di kalangan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman pula, fotografi perlahan-lahan menabur eksistensinya ke dalam dunia politik, spionase, akademis, kepustakaan bahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dalam kancah perpolitikan nasional maupun internasional misalnya. Produk fotografi tidak hanya semata untuk menyampaikan pesan artistik. Lebih daripada itu, sebuah foto membawa motif yang jauh lebih kompleks yakni agitasi dan propaganda.

Foto Hitler ketika bayi yang ternyata palsu.

Mengenang diawal perkembangannya, sejarah fotografi mencatat bagaimana kekuatan sebuah foto dalam pertarungan hegemoni oleh Adolf Hitler sebagai penguasa Nazi Jerman tengah bersitegang dengan Amerika Serikat menjelang Perang Dunia kedua.

Kuatir dengan pesona Hitler semakin menguat di daratan Eropa dan ambisinya terhadap dunia, Amerika serikat mengedarkan foto Hitler yang menyeramkan saat masih bayi. Kendati foto itu merupakan bukan foto bayi Hitler yang sebenarnya, opini publik telah terbentuk.

Foto itu jelas bertujuan meruntuhkan citra dan reputasi Hitler di kalangan internasioanl. Foto bayi yang menyeramkan membawa pesan bahwa Hitler adalah sosok yang penuh dengan kebengisan. Contoh lain, foto bung Karno memeluk Jenderal Sudirman diabadikan oleh Frans Mendur yang dapat dilihat pada beberapa buku sejarah. Momen ketika memeluk adalah adegan yang diulang karena kamera belum secanggih sekarang dalam membekukan gerakan.

Adolf Hitler sebenarnya yang ternyata sangat unyu dan imut.

Meski bersifat konstruksional, proses transformasi realitas tersebut masih dalam ambang kewajaran sebab tak ada fakta yang diubah. Tujuan Soekarno membuat foto itu ialah kesadaran akan momentum perjuangan bangsa sehingga Indonesia butuh foto yang menggambarkan persatuan pemimpin-pemimpinnya untuk melecutkan semangat juang rakyat pada saat itu.

Di era sekarang marak terjadi kasus rekayasa foto yang menimpa para tokoh, politisi sampai kepada selebriti tanah air. Paling familiar ialah rekayasa yang dilakukan dengan penggabungan atau pemisahan beberapa foto. Tidak sedikit dari kasus serupa menyebabkan  kehidupan sosial dan keluarga berakhir tragis dan memilukan. Sekejap mengurangi popularitas seseorang.

Semua keadaan berubah drastis hanya karena sebuah foto. Foto memiliki daya magis tersendiri dalam membentuk perspektif publik.  Hanya dengan sebuah foto seseorang dapat diterbangkan tinggi hingga ke khayangan, namun disaat yang bersamaan pula sebuah foto dapat menghempaskan seseorang jatuh kedalam titik paling dalam di bumi.

Rekayasa foto telah ada jauh sejak sejarah manusia terdokumentasi serta tidak hanya dilakukan melalui penggabungan atau pemisahan beberapa foto melainkan dapat pula dilakukan dengan skenario adegan.  Sisi negatif yang ditimbulkan dari proses ini ialah dapat mengubah arah sejarah, tetapi pada sisi yang lain juga dapat membangkitkan rasa nasionalisme yang tinggi. Melalui fotografi jejak perisitiwa sejarah terekam dan tetap lestari.

Ir. Soekarno merangkul Jenderal Sudirman

***

Konten Fotografi

Sejalan dengan segala nestapa yang mengiringi proses tersebut, saat ini dunia tengah marak memasuki babak baru dari segi teknologi.

Begitupun halnya fotografi. Fotografi merupakan suatu riak dalam gelombang besar teknologi dan budaya yang cukup dahsyat melakukan eksploitasi visual manusia. Bias dari teknologi menghadirkan berbagai piranti lunak yang menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam melakukan propaganda visual. Kemudian bertransformasi menjadi alat paling andal dalam menyajikan secara sekaligus kenyataan subyektif dan obyektif.

Merespon perkembangan tersebut maka penting untuk memperkaya persepsi bahwa memahami fotografi harus dari berbagai aspek, termasuk dari info lateral. Dalam menyampaikan pesan, secara teoritis fotografi dibentuk oleh dua aspek penting. Yakni, aspek visual (how to make the picture) dan aspek konseptual (what the picture content). Aspek pertama merujuk pada kemampuan dalam mengeksplorasi ranah teknis fotografi.

Sedangkan pada aspek terakhir memungkinkan segala pertimbangan ideologis dan politis bisa masuk dalam menciptakan sebuah karya foto. Dari sisi inilah esensinya mengapa sebuah foto dapat dimanfaatkan sebagai sarana agitasi, propaganda dan provokasi.

Memang tak dapat terelakkan menerjemahkan pesan foto melalui kemampuan visual manusia dapat mengundang multitafsir. karena sebuah foto memang tak dapat berbicara secara gamblang. Ada kode dan simbol yang terdapat dalam gesture atau emosi dari sebuah obyek yang perlu diterjemahkan.

Kini tantangannya ialah media sosial. Media sosial menjadi ladang subur untuk menyemai info-info hoax. Kecakapan literasi digital sangat penting dalam menyerap sebuah informasi. Menjamurnya informasi keliru dan menyesatkan di lini masa pada era modern turut mereduksi kepercayaan publik terhadap karya fotografi.

Bagi para pelaku fotografi menghadapi tantangan itu dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam profesi fotografi. Sikap abai terhadap etika sangat rentan menghasilkan karya foto manipulatif.

***

Subyektifitas Fotografi

Meskipun sebuah foto selalu diklaim sebagai realita obyektif, obyektifitas sulit dipraktikan dalam karya foto. Fotografi itu menghadirkan kenyataan-kenyataan yang telah dipilih oleh sang fotografer untuk disaksikan. Hal itu tentu berdasar pada ideologi dan latar belakang fotografer.

Sehingga publikasi visual kenyataan karya fotografer sangat berperan menentukan opini publik. Adanya proses pemilihan itu timbulah istilah subyektif.

Akibat konsekuensi tersebut, fotografi bertanggung jawab besar dalam membentuk tatanan sosial masyarakat. Tidak ada yang benar-benar orisinil obyektif, sebab fotografi selalu melewati tahap pemilihan obyek fotografis. Seiring berjalan waktu, fotografi tidak hanya menjadi bagian dari proses dokumentasi saja melainkan bermetamorfosa menjadi seni. Medium pas bagi para fotografer dalam mengekspresikan diri.

Kenyataan-kenyataan di atas semakin meyakinkan kita bahwa meski menghadirkan realitas, fotografi merupakan perwujudan ekspresi subyektif seorang juru foto. Jika fotografi menampilkan sebuah kebenaran subyektif, lalu bagaimanakah seharusnya kita memahami sebuah gambar yang ditampilkan dalam karya fotografi? Untuk menjawabnya, harus menyadari bahwa setiap foto memiliki acuan dan tujuan tertentu. Tidak menutup kemungkinan pula maksud dan tujuan foto itu mengalami bias serta perubahan. Subyektifitas itulah kemudian mampu menyitir tujuan fungsional sebuah foto.

Kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah orang untuk mempengaruhi persepsi publik. Kamera yang bertengger dibahu para fotografer mampu menghadirkan kepingan kenyataan yang dapat merubah arah perjalanan sebuah masyarakat dalam berbangsa dan benegara.

Fotografer bukanlah profesi dalam dunia industri, Fotografer adalah profesi idealisme sehingga memiliki kewenangan absolut dalam menentukan pesan visual, tak perlu dipaksa akan memotret apa. Sebuah karya foto memiliki sihir, dengan seketika bisa membangun atau menghancurkan imaji. Di era mutakhir saat ini, agar tidak mudah termakan hoax dan agenda setting, pengetahuan  mengeja foto sama urgensinya dengan pengetahuan terhadap Abjad. (*)

Selamat Hari Pers Nasional

3,687 Komentar