Malige Merangkai Jejak Peradaban Buton

Rumah-Adat-Tradisional-Banua-Tada-Suku-Wolio-Buton-Sulawesi-Tenggara

Seiring perkembangan peradaban manusia, maka kebiasaan akan membentuk polanya sendiri. Di antara kebiasaan itu ialah tradisi arsitektural dan langgam konstruksi yang khas.

Sebagai sebuah wilayah kesultanan yang telah ada ratusan tahun lamanya, peradaban di Buton juga meninggalkan karya nyata serupa Malige yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut oleh disiplin ilmu arsitektur modern. Malige kerap juga disebut sebagai Kamali, yang berarti mahligai atau istana. Malige digunakan sebagai tempat tinggal raja atau sultan bersama dengan keluarganya.

Konstruksi Malige tak hanya menjadi tempat bernaung, tetapi dalam muatan filosofisnya terdapat simbol, nilai dan kearifan yang menjadi dasar perilaku orang-orang yang tinggal di dalamnya. Dari perspektif arsitektur, fungsi dan pemaknaan simbol serta nilai dalam konstruksi dan dekorasi Malige banyak dipengaruhi oleh konsep dan ajaran tasawuf. Nilai-nilai itu di antaranya nilai kedekatan dengan alam yang dapat diamati dari bahan baku kayu jati dan wola yang digunakan, dominan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di lingkungan sekitar. 

Cara memperolehnya pun tidak serampangan. Kosmologi Buton menyadari semua makhluk di alam semesta memiliki hak-haknya sendiri, olehnya itu sebelum mengambil bahan kayu di alam, mereka terbiasa melakukan komunikasi batin. Mereka percaya kesalahan dalam memilih bahan baku akan memberi dampak buruk dalam kerukunan.

Nilai keyakinan tergambar pada struktur bangunan Malige, dimana nilai ini sangat memberi pengaruh terhadap bangunan rumah masyarakat biasa. Kemudian nilai sosial tercermin dalam proses pembangunan Malige yang dilakukan secara bergotong-royong dan melewati proses musyawarah terlebih dahulu. Sedangkan nilai estetika dapat diamati mulai dari struktur, bentuk, ragam hiasan dan berbagai karya seni rupa dan ukir.

Dalam pembuatan Malige sebagai kediaman Sultan, ia harus membawa ciri kebesaran dan kehormatan. Ciri khas itu diterjemahkan kedalam detail elemen dekoratif dan detail struktur bangunan. Pada elemen dekoratif, akan ditemukan ornamen Nenas (Buton: Nanasi) dan Naga. Ornamen ini terlihat kontras di bagian atas atap rumah. Sekaligus menjadi ciri khas unik setiap bangunan-bangunan perumahan di Buton.

Nenas adalah simbol kesejahteraan rakyat. Sifat Nenas yang mudah tumbuh dan tidak gampang layu membawa nilai falsafah yang menyiratkan bahwa orang Buton, dimanapun berada, harus ulet mengahadapi segala macam tantangan. Selain itu, ornamen lain juga dapat ditemukan, seperti motif Bosu-bosu (buah pohon Butun), motif daun (Buton: Ake) dan motif kelopak bunga teratai (Buton: kambang). Setiap motif menyimbolkan keselamatan, keteguhan, kebahagiaan, kesempurnaan dan kesucian.

Sedangkan ornamen Naga menjadi penanda kekuasaan pemerintah kesultanan sekaligus perlambang asal-usul leluhur Buton yang memiliki keterkaitan dengan negeri tirai bambu, Cina. Menurut legenda Buton, Naga disimbolkan penguasa yang bijak. Pada mulanya, Naga hidup di bumi sebagai penguasa atas makhluk lain, sampai datang perintah Allah subhanahu wata’ala yang akan menciptakan khalifah di muka bumi. Maka naiklah sang Naga ke langit, ia meluruhkan ego, mengalah pada manusia dan memilih tunduk pada perintah sang pencipta. Itulah sebabnya akan sering dijumpai ornamen Naga pada bubungan rumah tradisional orang Buton.

Pada detail strukturnya, Malige memiliki bentuk atap yang bersusun bermakna pemimpin yang mengayomi. Petak rumah berjumlah ganjil, biasanya lima atau tujuh. Analogi jumlah petak ini ialah rukun Islam dan Surat Alfatiha serta tujuh lapis susunan langit.

Ciri selanjutnya dari arsitektur Malige ialah lantai yang dibuat berundak. Semakin ke belakang semakin tinggi. Ini adalah analogi dari posisi manusia ketika sedang shalat. Simbol transparansi Sultan pun diwujudkan dengan ruang teras di depan rumah untuk menerima tamu. Kemudian pada bagian depan juga akan ada sebuah Guci untuk menampung air. Seni kriya Guci adalah simbol kesucian, bahwa siapapun mereka yang akan memasuki Malige hatinya telah suci atau harus suci terlebih dahulu.

Gaya arsitektur Malige terinspirasi dari anatomi tubuh manusia. Rumah tradisional ini memiliki empat tingkatan yang diibaratkan kepala (atap), badan (badan rumah), kaki (kolong rumah) dan hati (pusat rumah). Khusus pada bagian hati, dalam tradisi masyarakat Buton, mereka akan memberi lubang rahasia pada satu tiang terbaik penyangga rumah sebagai tempat menyimpan emas. Emas tersebut menjadi personifikasi hati manusia. Sedangkan pada kolong rumah, terdapat batu alam yang disebut sebagai Sandi. Fungsi Sandi sebagai fondasi tempat bertumpu tiang-tiang rumah.

Desain rumah adat Malige juga mengusung konsep keselarasan dengan alam yang memanfaatkan material kayu. Ciri khas spesifik konstruksi Malige ialah menggunakan teknik pertukangan kuno. Para Saraginti dan Pandeempu (arsitek/tukang ahli pembuatan Kamali atau Malige) bekerja tanpa sekrup, paku atau benda logam sebagai pengait untuk menyambung kayu. Sebagai ganti, mereka memakai pasak kayu kecil sebagai penyumbat pada dua balok kayu yang akan disambungkan yang pada ujungnya telah dibuat model-model sambungan agar saling mengait. Teknik seperti ini masih dipraktekkan oleh Kobayashi Kenkoku, sebuah perusahaan arsitektur yang ahli dalam pertukangan tradisional Jepang.

Setiap ruang ditata secara strategis dan dibuat senyaman mungkin bagi penghuninya. Kesederhanaan desain interior tetap menonjolkan kepribadian sang pemilik rumah dalam hal ini Sultan.

Semua ciri khas tersebut juga banyak ditemukan pada rumah-rumah warga biasa yang mewarisi gaya vernakular. Mulai dari ragam bentuk atap, konstruksi hingga material yang digunakan serupa dengan Malige dan semua itu terintegrasi indah dengan sistem kepercayaan serta semangat komunitas etnis Buton.

            Meski memiliki ciri khas yang sama, rumah tradisional Buton yang berbentuk rumah panggung – untuk menyesuaikan dengan iklim tropis dan lembab – akan memberi makna yang berbeda tergantung dari segi luas bangunan dan ornamen yang terdapat pada konstruksi. Hanya dengan mengamati konstruksi dasar rumah, orang dapat mengidentifikasi status sosial seseorang. Jika memiliki tiang samping 8 buah, maka itu adalah bangunan Sultan. Jika tiang samping berjumlah 6 buah, maka itu adalah rumah pejabat istana. Sedangkan masyarakat biasa umumnya memiliki 4 buah tiang samping. Olehnya itu, secara fisik, desain arsitektur masyarakat Buton bukan semata bertumpu pada aspek fungsional dan estetis tetapi wujud dari karakter masyarakat.

Dalam konteks seni, perwujudan arsitektur Malige bukanlah manisfestasi cipta, rasa dan karsa yang bebas ekspresif dan sekehendak penguasa. Arsitektur tradisional tersebut terikat oleh kaidah dan norma yang berkembang pada masyarakat Buton. Pembangunannya sarat akan nilai-nilai kepercayaan dan kebudayaan serta muatan filosofis. Hal ini pun berlaku pada semua jenis proyek bangunan monumental lainnya.

Melestarikan bangunan tradisional seperti Malige adalah keniscayaan, karena tidak saja sebagai penanda identitas, tetapi melalui detail arsitektural kita dapat mempelajari tradisi masyarakat setempat, yang tentu bukan saja membangun secara fisik. Masyarakat Buton tradisional terikat oleh adat yang memiliki konsensus dalam kehidupan sosialnya. Sehingga, konsep arsitektur yang diusung selalu menjadi perwujudan karakter orang-orang Buton.