Memoar El Clasico AFI FC

Saya masih sanggup mengenang pada pagi yang buta kala itu, pintu-pintu kamar Asrama AFI berdenyar nyaring. Kos-kosan mahasiswa itu serasa barak militer. Seperti alarm, Acang menggedor semua bilik, membangunkan tim. Padahal jarum pendek jam dinding belum menggenapi angka 4. Pagi itu tim sepakbola Asrama AFI ada agenda pertandingan dengan tim dari Fakultas Hukum.

Entah gara-gara apa dan siapa yang duluankan, anak AFI waktu itu gila bola. Sangat. Lantaran candunya, jadwal kick off jam 7 pagi, tapi pemain malah begadang, mereka mulai pemanasan dari tengah malam.

Saya buka pintu. Dalam hati “siapa lagi yang mabo ini”. Ternyata Acang sudah lari-lari kecil mengelilingi koridor asrama. Saya tengok ke kamar 7B, kawan saya Baudin sedang membuat simpul di sepatu bola mahalnya. Dia adalah salah satu yang paling bersemangat. Saking semangat, Baudin tidur dengan jersey MU yang masih disponsori perusahaan asuransi berbasis di Amerika, AIG.

Baudin serupa Balotelli. Bukan tampangnya, melainkan sosoknya yang sering menabur kontroversi. Seteru abadinya ketika membincang perihal liga kasta tinggi benua biru adalah Jhoni, anak FISIP UHO yang kuliah jurusan Komunikasi. Mereka sering adu pengetahuan dalam menganalisa para pemain bola. Sering juga Baudin terdiam seribu bahasa, kalau Jhoni sudah bicara berbusa-busa tentang spesifikasi kamera berbanderol 1 Miliar.

Kalau bicara kostum, Baudin adalah yang paling eksklusif. Kostum bolanya selalu ter-update. Saat kita cuma bisa beralas sepatu rotan seharga 15 ribu yang sering dipake nene-nene cabut kasbi di kebun, harga sepatu Baudin bisa puluhan kali lipat dari itu. Kawan saya itu selalu tampil mevvvaah ketika berlaga di hamparan padang klorofil.

Saya juga ikut siap-siap. Pagi itu, jelaga masih setia membungkus wilayah kampus. Dari gerbang blok C Asrama AFI, Acang, Jhoni, Abang dan Arman berbondong-bondong keluar. Tak lama semua telah berkumpul. Lalu beriringan menembus tabir udara pagi yang masih tebal menuju lapangan bola kampus.

Sambil menunggu tim lawan tiba, meskipun sudah panas dari semalam, kami melakukan pemanasan ulang. Di tengah lapangan, saya mengamati Jhoni sedang berlatih mengeksekusi bola mati. Pria keriting badaki itu bergaya seperti Messi. Dengan gesture parlente dan tidak tahu malu dia meniru gerakan Messi melakukan free kick. Dia tarik napas panjang, lalu menghembuskannya sepoi-sepoi, tatapanya tajam di sudut gawang. Namun naas, Ketika hendak menendang, secepat kereta kencana Cinderella, Arman muncul tiba-tiba dari belakang. Ia menyambar bola itu dan menggiringnya dari ujung ke ujung.  Meninggalkan La Jhoni Kribo yang dihujam pedoko bertubi-tubi di ulu hatinya.

Di dalam tim AFI FC, Arman berkapasitas sebagai left wing. Laki-laki berbulu dada seksi ini diberi tanggung jawab mengisi posisi tersebut karena reputasi tendangan kaki kirinya yang sangat powerfull. Saya tahu kaki-kakinya kuat karena saya sering mendapatinya melatih kedua kakinya itu dengan cara tidur sambil menyandarkan kaki ke dinding di depan komputernya. Itu adalah gaya tidur favoritnya.

Oleh Jhoni, Arman dijuluki “Pemain Rentan Cedera”. Tidak tahu apa maksudnya dia bilang begitu. Tapi bisa jadi karena Arman termasuk pemain klasik kontemporer dengan gayanya yang jelata, yang pada masa kecilnya jarang bermain bola sehingga kaku dalam melakukan gerakan ekstrim saat bermain.

Tim lawan belum juga datang. Kami terlalu tergesa. Saya masih santai, leyeh-leyeh di pinggir lapangan. Di lintasan stadion, saya lihat Acang, Baudin, Abang, Nuzul, Asri, Jack, Dayat, dan Ian, berlari-lari kecil melakukan perenggangan dan pemanasan otot. Ini sangat penting, terutama bagi Arman supaya tidak gampang salah urat ketika bentrok nanti.

Pada putaran kedua mereka berlari, saya terpancing untuk pemanasan, saya ikuti langkah cepat mereka, menerebos masuk kedalam barisan, setelah melakukan putaran ke-4 kami berhenti. Lalu masuk kedalam lapangan dan membentuk satu pola lingkaran dan menendang bola dari ujung ke ujung.

Di pinggir lapangan ada Kaka Aslim. Supaya AFI FC terkesan profesional kita anggap saja Kaka Aslim sebagai entrenador. Tak lama berselang, Kaka Aslim sudah menginfokan bahwa lawan tanding telah tiba. Dari kejauhan saya lihat mereka tampak beringas. Dari postur yang tegap berotot sepertinya mereka semua pemakan ubi kayu. Tentu kita sudah kalah duluan, kalah bodi, otot-otot anak AFI hanya diisi mie kaldu, untung-untung kalo campur dengan ghunteli. Mereka rahangnya keras-keras. Betisnya seperti mau meledak.

Dengan perawakan seperti itu, mental AFI FC sedikit taguncang. Entah kenapa, kehadiran mereka sangat mengintimidasi. Hampir kita mau pulang, pura-pura sakit perut mau bera, tapi untung Acang muncul memberi motivasi. Seperti William Wallace, sebagi yang di-tua-kan, Acang muncul menyalakan obor-obor kemenangan, menghilangkan bayang-bayang ketakutan. Atas semangatnya, tim berusaha bangkit dan merekatkan kembali energi positif yang mulai terurai dan bertekad memberikan yang terbaik.

Mengambil peran sebagai sang Allenatore, Kaka Aslim memberi instruksi dan beberapa arahan tentang strategi dan formasi yang diterapkan. Beberapa saat kemudian posisi telah rampung. Acang, Fatur dan Bapak Alya adalah pasukan gedor. Mereka berada di barisan terdepan yang bertugas memberi kecupan mematikan buat penjaga gawang musuh. Barisan tengah telah berdiri dengan gagah empat jejaka tangguh, mereka adalah Arman , Asri, Nuzzul dan Dayat.      

Arman berfungsi sebagai peluru kendali (rudal) dari kiri. Meskipun ia sulit dikendalikan dan mengendalikan diri, terkadang dia membawa keburuntungan bagi tim. Dayat bertugas mengupas kulit benteng pertahanan lawan dari arah kanan. Sedangkan Asri dan Nuzzul sebagai gelandang, mereka membawa misi rahasia, mengoyak lambung pertahanan lawan.

Di barisan belakang yang akan menjaga kesucian perawan gawang yang dihuni oleh Ray adalah Abang di sebelah kiri. La Abang memiliki kondisi fisik tangguh. Ia tidak gampang menyerah. Dia ini seperti Kante, skill bernapasnya bukan main, jago sekali. Kalau kucing punya sembilan nyawa, maka La Abang punya sembilan paru-paru. Saya curiga ada kompresor dalam badannya.

Tentang La Abang, yang paling mengesankan bagi saya, dia selalu menampakkan keluhuran budinya. Murah senyum. Biar dibanting, didobrak kiri kanan, dia tidak pernah emosi, selalu semringah. Salut buat kawan ini. Psikologinya matang sekali.

Kemudian di tengah Abar telah bertengger, sebagai jangkar, dia adalah benteng pertama dan terakhir pertahanan tim. Kakanda saya yang ini merupakan sosok pemain yang penuh dengan marabahaya bagi para penyerang lawan. Sebagai jantung pertahanan, gayanya anarki.

Saya mungkin bisa menjuluki beliau sebagai malaikat penebar maut di tengah lapangan hijau. Tak jarang dia selalu mematahkan serangan lawan, bahkan terkadang bukan cuma serangannya yang patah, yang melakukan serangan pun bisa patah olehnya. Sesediki pata, sesediki pata.

La Baudin dengan jersey kebanggaanya sebelum mengenal Messi.

Di sudut kanan pertahanan telah berdiri dengan lunglai nan jelita Baudin sang batu karang. Walaupun ia penuh dengan kejenakaan, namun jeritan lawan sukar dipungkiri ketika mereka bertandang di daerah kekuasaan Baudin. Ia penuh dengan kejutan-kejutan menggelikan yang mampu mempermainkan perasaan kami yang menontonnya. Ketika gawang terancam secara total dan yang lain tak mampu membendung serangan itu, Baudin selalu hadir di tengah sebagai pahlawan tak bertopeng. Ia rajin kejar bola, walau banyak dinyinyiri semangatnya tidak luntur sebelum wasit meniup sangkakala. Saya meneladani patriotisme dari Baudin.

Suasana cukup menegangkan saat menunggu detik-detik pluit di bibir wasit.

Priiiiit…… permainan pun dimulai.

Di sisi luar garis ini yang berdiri ada saya, Kaka Aslim yang berusaha mendalami perannya sebagai coach. Sedang di belakang Jhoni, Jack, Ian dan Deli sedang mempermainkan bola dengan asyik. mereka sedang melipur lara sebab tak bisa bermain di paruh pertama.

Pada menit-menit awal tim AFI FC nampak mendominasi. Tapi sayangnya, tim lawan seperti jagoan dalam film India. Mereka rupanya kalah-kalah dulu, setelah itu baru menang. Berbanding terbalik, AFI FC kalah-kalah dulu, setelah itu kalah terus.

Di pertengahan babak pertama, mereka mulai meng-gas. Ray dibikin salah urat. Sibuk terjun kanan kiri menghalau bola. Namun apalah daya, ibarat kata pepatah “setupai-tupainya jatuh, pasti akan melompat juga”. Karena sering diserang, gawang Ray sobek di menit ke-31. Mengalirkan darah kepedihan. Keperawanan gawang telah pecah, menusuk hingga empedu. Satu kenyataan pahit yang harus ditelan mentah-mentah sekujur tim AFI FC.

Kondisi kian parah. Saat pertandingan berlanjut, Abar terkilir. Karena solidaritas yang tinggi, Arman lalu menghentikan permainan. Lalu dengan kecepatan cahaya, menghampiri Abar. Bukan menolong atau membopongnya keluar lapangan untuk mendapat perawatan medik, tapi mengamankan sepatu bolanya. “Sinimi sa pake dulu sepatumu“, mungkin dia bilang begitu, sembari cepat-cepat menarik sepatu.

Jack pun masuk mengisi kekosongan di baris pertahanan. Kehadirannya sama saja memasukan penyakit ke dalam tubuh tim. Saya ingat jelas dialog Jack dengan Bapak Alya yang menguras emosi dan tenaga.

Bapak Al: Jack, ko kejar itu bola depanmu cepat.

Jack: (Sambil kasi naik celana di atas pinggang), sabar dulu kone, kita baru masuk ini.

Bapak Al: Justru ko baru masuk itu kampret, masi banya tenagamu.

Jack: (Sambil bersiul, jalan-jalan santai)

Jack adalah pemain serba bisa. Gaya bermainnya sangat romantis. Memang tidak sehebat Abar namun di kampus ia menjadi pujaan para wanita. Satu misinya yang belum terselesaikan adalah mengungkapkan rasa cintanya kepada salah seorang gadis di asrama kami tinggal.

Pertandingan babak pertama berakhir kami mengemas kekalahan 3-0, sungguh tirus. Letih membayangi seluruh tim. Untuk kesempatan kedua ini Deli masuk menggantikan Arman, Joni menggantikan Asri dan saya bermain menggantikan Dayat. Ian tak dapat ikut bermain karena masih banyak tugas kampus yang harus segera diselesaikan.

Babak kedua dimulai. Bola terus bergelinding di antara kaki-kaki. Serangan yang mereka lancarkan semakin tajam. Pertahanan kami goyang kembali. Kepercayaan diri mulai runtuh, daya juang dan kerjasama pun hendak pergi meninggalkan jasad kami. Saling menyalahkan tak dapat dielak, konflik horizontal pun terjadi. Situasi ini menjadi belati yang digunakan lawan tanding untuk menikam barisan pertahanan. Mereka sibuk cetak gol, kami sibuk baku tuduh dan mencari kambing hitam.

Tak ayal mereka langsung menambah tiga angka lagi . Suara Kaka Aslim yang bermain di tepi lapangan untuk sekadar memberi peringatan, strategi jitu dan selembar sketsa pola penyerangan dan pertahanan tak lagi terdengar. Strateginya melintang bersama angin menuju ke ufuk barat. Telah terjadi keretakkan dalam tim. Ada jurang yang menganga lebar memisahkan koordinasi. Pemain sudah bertindak sendiri-sendiri. Buyar.

Losstime berakhir juga. AFI FC dibantai. Dipecundangi. Skor 6-0 memuncaki perjuangan kawan-kawan di AFI FC. Memang skor itu sangat keji. Satu-satunya cara mengatasinya hanyalah menerimanya dengan lapang dada. Kami kelelahan, terlihat rengsa dan rengus. Hampir ada gerimis di sudut mata alias menangis Cina.

Namun, kalah bukan akhir segala-galanya. AFI FC semakin giat berlatih. Kami belajar dari pengalaman. Supaya lain kali jangan cari lawan yang jago. Kita undang saja ana-ana Walengkabola minggu depan main. Semua sepakat. Sejak itu Walengkabola kontra AFI bertajuk El clasico. Mamamia lejatos.

Nanti saya ceritakan lagi tentang el clasico ini.