“Menurut saya, sistem pendidikan di sekolah saya adalah yang terbaik di dunia. Ya, terbaik dalam membunuh kecerdasan dan karakter orang.” Saya dengar pernyataan itu dalam kongres Anak Nasional tentang sistem pendidikan, tapi saya lupa lewat platfrom yang mana.
Berangkat dari kredo menyakitkan itu, pada momentum Hari Guru ini, saya banyak terkenang dialektika bersama guru-guru selama 9 tahun mengenyam pendidikan.
Suatu waktu, setelah pulang menuntaskan program magang foto jurnalistik di Jawa Pos, saya tak sengaja bertemu sepasang suami istri di ruang tunggu bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Mereka berdua adalah guru matematika saya waktu zaman SMP. Saya langsung menghampiri dan segera menjabat serta cium tangan mereka yang sedang menunggu waktu keberangkatan.
Kalimat pertama yang saya ucapakan bukan, apa kabar. Saya langsung berkata, “Pak guru, Bu guru, maafkan saya ya, dulu saya nakal, dulu saya bodoh pada pelajaran bapak/ibu, tidak tahu menjumlahkan min tiga dengan min empat, maafkan juga saya yang sempat dendam dan benci sama kalian hanya karena sudah menghukum saya berdiri di atas kursi.” Mereka membalas saya dengan senyuman ikhlas dan meminta maaf kembali sembari memegang pundak saya. Seketika, rasanya seperti mozaik kebiadaban saya terhadap guru bersama teman-teman muncul tiba-tiba. Saya mengutuk diri.
Pengalaman itu menjadi bukti bahwa dibanding materi bidang studi yang diajarkan guru saya lebih mengingat pengalaman yang melibatkan emosi dan perasaaan. Semakin lama saya lebih bisa mengerti tentang karakter dan mental sebagai modal menekuni satu disiplin ilmu. Lebih melekat di dalam benak saya tentang sikap dan perilaku guru daripada mata pelajaran yang sangat berpedoman pada text book.
Pada perspektif yang lain, saya juga harus jujur. Dulu itu, kalau mendapat guru yang feodalisme dan watak kolonialnya kental, suasana belajar di dalam kelas bisa seperti padang mahsyar. Yang ada bukan transfer of knowledge lagi, tapi masing-masing cari selamat. Sebagai murid, kita menganggap kelas dan guru adalah ancaman nyata yang merongrong kebebasan ‘berkeluar main.’
Murid-murid sekarang mungkin harus berterima kasih dengan generasi dulu-dulu. Karena libur korona sepanjang tahun ini adalah doa-doa kami terdahulu. Harapan kami yang tak pernah kesampaian. Ingin libur sepanjang-panjangnya dari rutinitas bersekolah yang monoton dan membosankan.
Dalam memori saya, tentang guru, pada generasi kami dan zaman kebelakangnya lagi, guru sangat ringan tangan dan gampang sekali main “kipas” (baca: memukul). Itulah kenapa, hobi anak-anak pembolos pasti menunggu guru lewat, lalu dilempar. Layaknya rindu, mereka juga banyak menyimpan dendam yang harus dibayar tuntas.
Saya rasa tantangan guru di abad modern ini adalah bagaimana mendidik dengan humanis dan kreatif. Kasus kekerasan di dalam ekosistem sekolah masih kerap terjadi. Untuk menghindari model kekerasan, guru perlu dilatih bagaimana caranya menghukum. Saya terkenang dengan apa yang dikatakan Richard L. Evans, penulis asal negeri Uncle Sam itu bilang “Children will not remember you for the material things you provided but for the feelings that you cherised them”.
Tanpa perlu menodai esensi dari kata “terdidik dan berpendidikan,” hukuman harus memberikan kesadaran bukan transformasi luapan emosi. Pada akhirnya murid akan mengapresiasi guru atas dasar rasa takut, bukan menghargai kita sebagai guru yang bijak dan memanusiakan.
Apalagi muncul terminologi guru killer, semakin menguatkan statemen di awal tulisan ini. Kenapa bisa harus menyematkan diksi “killer” padahal guru itu harus menghidupkan dan mencerdaskan. Lain dulu lain sekarang. Generasi terdahulu kerap mendapat pendidikan keras, tujuannya agar siswa itu tahan banting. Hal itu mungkin wajar, seiring dengan situasi dan keadaan yang juga cukup sulit. Di zaman sekarang, guru killer sudah tidak relevan lagi. Perkembangan teknologi sangat memudahkan dan mendisrupsi segala hal. Perkembangan teknologi membuat murid bisa belajar dari berbagai platfrom mengajar yang berseliweran di jagat digital. Dari situ peran guru dalam mengajar pasti tergantikan. Karakter “killer” itulah yang justru merendahkan penilaian terhadap profesi guru.
Dalam visi revolusi mental pemerintah, kita punya PR besar bersama bagaimana menjadikan profesi ini bisa sekaliber jabatan Direktur di BUMN, termasuk gajinya. Karena kenyataan yang ada, kita meletakkan profesi ini di level menengah ke bawah. Segitulah penghargaan kita. Banyak orang memutuskan menjadi guru sebagai jalan keluar saja dari pengangguran. Seolah menjadi guru adalah bentuk pelarian. Pada akhirnya mindset yang berkembang adalah sebatas menggugurkan kewajiban semata.
Kita harus sama-sama yakin, sampai kapanpun, tugas guru tak dapat digantikan teknologi. Guru menjadi onderdil penting dalam membangun peradaban bangsa yang humanis dan modern. Teknologi bisa memberi pengetahuan, tetapi moral dan karakter hanya diwariskan dari seorang guru. Jadi dalam uji kompetensi guru, moral guru dipertanyakan dulu, karakternya diuji habis-habisan. Karena guru itu bukan mengajar, mereka sebenarnya hanya perlu membentangkan pengetahuan, lalu memotivasi. Menjadi pemicu lahirnya kreativitas dan inovasi peserta didiknya.
Guru abad 21 adalah laskar terdepan membangun generasi bangsa ketika keluarga di rumah tidak mampu mengambil perannya dalam mendidik. Disitulah profesionalisme seorang guru ditakar. Jangan pernah katakan profesi guru adalah profesi yang mulia jika guru tak profesional, atau memilih-milih murid yang akan dididik. Guru yang profesional tidak boleh terbakar oleh emosi yang dirangsang dari lingkungan.
Yang jauh lebih krusial ialah bagaimana seorang guru fokus memberi pengalaman belajar yang bermakna. Jika berkaca dari pengalaman saya, proses belajar sangat penuh dengan tekanan, intimidasi dan bayang-bayang dipermalukan di hadapan murid lain. Akibatnya, ketika dewasa betapa banyak orang yang telah lepas dari bangku sekolah tapi tetap malas dan enggan untuk terus belajar dan meng-upgrade kemampuan diri. Ini semua menjadi tanggung jawab seorang pendidik bernama guru.
Guru yang memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan maka akan membangun kemandirian belajar anak-anak didik. Kesadaran dan kemandirian mereka akan terus bertumbuh. Seumur hidupnya anak-anak didik itu tak akan berhenti dan lelah belajar.
Lalu mana relevansinya dengan judul artikel ini?. Kok tidak nyambung. Ahh sudah lah, saya juga heran kenapa Anda bisa sampai di paragraf ini. Antum seperti orang yang belum tahu jebakan clickbait. Maksud saya bukan berkelahi secara fisik. Bukankah kita sudah lama meninggalkan era Barbarianism. Pada momen reflektif hari guru ini, seharusnya pertengkaran antara guru dan murid adalah bentuk perkelahian pikiran dan gagasan. Tujuannya dalam rangka menambah wawasan dan memperkaya perspektif.
Menutup semua argumentasi ini, saya kutip satu pesan dari KH. Maimoen Zubair: yang paling hebat dari seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya namun hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga.
4,187 Komentar