Indonesia, Rumah Solidaritas Universal

Cerita tentang keadilan dan kemakmuran masih menjadi amanat purba konstitusi yang belum kelar diperjuangkan segenap anak bangsa, utamanya kaum muda. Perjalanan memperoleh identitas sebagai Indonesia begitu terjal, penuh liku dan kompleks secara multidimensional.

Tentu situasi perjuangan pergerakan nasional pemuda di awal kebangkitan nasionalisme memiliki konteks berbeda di era kini. Namun badai pandemi covid-19 sebagai penyempurna ujian kebangsaan modern juga tak pernah sepi dari kemelut. Sarat akan tantangan.

Meski kurva covid-19 kian melandai, level-level PPKM di sejumlah daerah menunjukan tren penurunan, sulit untuk ingkar, bahwa sesuatu yang pergi atau hilang terkadang meninggalkan jejak. Entah jejak dalam berperilaku sosial, berinteraksi dengan alam ataupun perilaku terhadap diri sendiri. Covid-19 telah membuat tatanan ekonomi porak poranda, sistem pertahanan sosial rapuh bahkan covid-19 memberi trauma psikologis sejumlah masyarakat. Seolah pandemi telah membongkar sistem bernegara satu demi satu, merentangkan helai-demi helai titik lemah kita.

Dari sektor ekonomi, gencarnya pemerintah memberikan saluran bantuan kepada publik adalah bentuk konfirmasi terhadap kelesuan aktivitas ekonomi. Walau mendulang berbagai kritikan tajam-terkadang tidak konstruktif-pemerintah tetap menunjukan konsistensi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui serangkaian kebijakan fiskal.

Sedangkan dalam sistem pertahanan sosial dan jaminan kesehatan saat pandemi ini, banyaknya Nakes berguguran, sebagian lagi kewalahan mengatasi pasien yang membludak menunjukan sumber daya minim dan infrastruktur kesehatan bahkan kebijakan kesehatan yang belum memadai. Tekanan ekonomi dan angka kematian yang tinggi membuat sebagian kalangan mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi, anxiety dan skizofrenia.

Perilaku cerai berai publik yang abai menerapkan protokol kesehatan banyak dijumpai. Sebagian kalangan juga menjadi pemuja teori konspirasi.

Hal-hal itu adalah sebagian dari residu yang ditinggalkan covid-19 dan menuntut persatuan semua elemen bangsa untuk segera diatasi. Lalu apa yang bisa dipelajari, oleh kaum muda sebagai suksesor jika kelak endemi, epidemi atau pandemi lain kembali datang menghantam republik ini?.

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, pandemi selalu menjadi game changer. Ia merubah peta budaya dan sosial secara global maupun domestik. Masyarakat dipaksa menerima satu kenormalan baru sebagai sesuatu yang wajar. Tantangan pun berubah. Pemuda perlu terobosan, bukan melulu sebagai agent of change. Lanskap sosial yang telah luluh lantak menuntut kemampuan adaptif para kaum muda. Pemuda perlu hadir sebagai agent of solution di tengah polemik berkepanjangan ini.

Dari total populasi penduduk (SP 2020): 270 juta jiwa, kaum muda-masuk dalam kategori generasi Z dan milenial-memiliki persentase yang cukup besar. Berturut-turut 27,94 persen dan 25,87 persen. Bonus demografi itu harus dimanfaatkan sebagai sumber daya modal kemandirian berdikari dalam konteks bernegara dan pergaulan internasional.

Memang satu-satunya yang bisa ditawarkan kepada kaum muda adalah masa depan. Akan tetapi menelusuri the glorious past tentang memoar 28 Oktober 1928 akan memberi kita visi tentang bagaimana menjalin konektivitas dan inklusivitas di tengah beragamnya identitas suku bangsa Indonesia kala itu. Pengetahuan akan sejarah itu jadi dasar bangunan monumen persatuan sebagai bekal menghadapi tantangan, yang kini konteksnya bukan lagi kolonialisme yang represif melainkan pandemi.

Tidak banyak negara di dunia ini dibentuk dan dipersatukan melalui ide dan gagasan. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa persatuan seluruh anak bangsa ini lebih dulu mewujud sebelum Indonesia berdiri. Kala itu, entitas kedaerahan membentuk kekuatan komunal, lalu berikrar dalam tumpah darah yang sama. Dalam segala keterbatasan mereka berupaya melawan watak kolonial melalui pemikiran-pemikiran revolusioner.

Sebagai pewaris semangat masa lalu, dalam situasi ketidakpastian pandemi, kaum muda harus banyak mengambil perannya masing-masing. Indonesia di masa kini, seusai pandemi, adalah etape awal mengejar segala ketertinggalan.

Dengan legacy demikian, Indonesia tidak boleh kehilangan panggung di pentas global. Sebagai sebuah bangsa yang besar Indonesia harus menjadi rujukan mengenai makna persatuan. Kita bersatu dalam Prokes. Satu memakai masker, semua pakai. Satu cuci tangan, semua cuci tangan, satu jaga jarak, semua menjaga jarak. Satu kesusahan akibat PHK dll, semua ramai-ramai berebut memberi pertolongan. Jantung kita berdetak dalam degup yang harmoni. Beresonansi dalam irama solidaritas.

Keyakinan akan tercapaianya segala harapan dan niatan baik itu atas dasar satu fenomena yang terjadi dikalangan anak muda saat ini yakni banyaknya di antara mereka membangun komunitas yang berkecimpung dalam bidang yang sangat variatif. Mulai dari lingkungan, pendidikan, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Indonesia muda melalui kekuatan komunitasnya, bahu membahu melakukan terobosan bersama, sesuai peran masing-masing.

Usai pandemi ini, semua elemen bangsa dapat jauh lebih rasional. Pandemi memberi pengalaman agar kita lebih peduli dan concern mengembangkan sains serta pelibatan para pakar dan solusi pendekatan sains untuk menyusun rencana mitigasi dan menegakkan prinsip manajemen krisis yang tepat menjegal wabah.

Pandemi sudah menelanjangi tata kelola pemerintahan di level pusat dan daerah. Kini sudah saatnya negeri ini berbenah, membentuk pemerintahan yang jauh lebih efektif. Membangun jalur koordinasi terpusat dan terpadu ditiap jenjang pemerintahan.

Indonesia tak pernah sepi akan teladan bangsa berkaliber global. Kenyataan tersebut jadi acuan membangun leadership yang kuat.

Amatan World Giving Index menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan. Atribusi tersebut tergambar pada kekuatan identitas dan karakter bangsa yang suka tolong menolong dan saling memberi. Berdasarkan pengalaman orang barat, mereka menerjemahkan Indonesia sebagai bangsa yang tidak individualis.

Indonesia pasca pandemi adalah momentum menyemai ulang benih soliditas dan solidaritas universal. Menguatkan kembali fondasi persatuan yang sempat goyah akibat pandemi. Indonesia di masa depan adalah bangsa yang menanggung kewajiban moral untuk bersama-sama bekerja demi kepentingan semua.

Sebagai rumah, kami pun melihat Indonesia tak lebih dari sebuah festival tolong menolong. Teluk, selat, lautan yang membentang dan ngarai-ngarai yang membagi kita kedalam pulau-pulau adalah realitas geografis yang tidak boleh merobek rasa persaudaraan dan persatuan kita sebagai Indonesia. Kita punya satu modal sosial, namanya gotong royong. Orang Buton menyebutnya pohamba-hamba. Tentu dalam kebaikan.(*)