Sebelum melahap habis tulisan ini, saya ingin anda mencicipi dulu suguhan kalimat poetic ini: bahwa meski dirundung peperangan menahun, tanah-tanah di Palestina tidak pernah tandus dan kerontang, karena tanahnya selalu disiram dengan darah para syuhada.
Israel menganggap ini adalah perang kemerdekaan. Palestina menyebutnya ‘nakba’ atau bencana.
Nyawa Palestina itu hampir habis. Dukungan Indonesia memperpanjang nafas mereka, Palestina seperti mendapat cadangan nyawa baru. Mewujudkan kemerdekaan Palestina masih menjadi jantung politik luar negeri kita. Syukurlah, negeri ini sejak pertama kali terbentuk, tetap istiqomah di barisan orang-orang Arab, tanah kelahiran baginda kita, Rasul Muhammad SAW.
Bagaimanapun, konflik ini adalah aib bagi peradaban modern kita yang katanya sudah beradab. Aib bagi United Nations yang sampai saat ini belum juga melahirkan resolusi perdamaian.
Bagi kita, yang secara religius memiliki keterikatan dengan rakyat Palestina kebanyakan menilai konflik ini secara horizontal, sebatas urusan agama. Tapi kami ingin mengajak pembaca semua untuk melihat konflik ini dari jendela geopolitik Timur Tengah. Kesamaan agama membuat kita mengirimkan doa-doa ke langit, sedangkan pengetahuan politik menyatakan ikhtiar kita membantu Filistin dalam gerakan nyata.
Mari kita mengembara ke lorong-lorong waktu. Saat dunia ini masih dikuasai orang Romawi, komunitas Yahudi telah mengalami pengusiran secara masif. Polemik agama Judaisme menjadi salah satu pemicunya. Kita skip dulu bahasan tentang Romawi.
Berabad lamanya mereka hidup sebagai eksodus. Terpecah belah tanpa tanah air. Mereka terpencar ke berbagai penjuru planet ini. Termasuk Eropa. Aktivitas bereksodus ini semacam mengulang sejarah penyeberangan Laut Merah bani Israel. Sejarah yang terus berulang. Di daerah manapun Yahudi selalu menerima penindasan. Mereka dicap pendatang yang selalu dianak tirikan. Selalu dibenci oleh semua komunitas masyarakat. Hati kecilku sebagai manusia, merasa kasihan sebenarnya.
Di satu titik, mungkin kita sebagai jurnalis perlu mengambil pelajaran dari Herzl. Kemampuannya adalah membangun jejaring. Ia adalah jurnalis. Dari bangsa Yahudi. Desk liputannya adalah peperangan di Perancis. Ia banyak meliput tindak kekerasan yang dialami Yahudi di Paris. Latar belakangnya sebagai jurnalis yang secara langsung sebagai saksi sejarah atas penindasan yang diderita oleh kaummnya sendiri memunculkan ide di dalam kepalanya untuk menyudahi derita berkepanjangan itu.
Ia sadar, satu-satunya cara agar orang Yahudi berhenti ditindas adalah memiliki wilayah negara sendiri. Mulailah ia menyebut perjuangannya yang kita kenal sebagai Zionism. Ideologi Theodore Herzl untuk membangun negara digdaya sendiri bagi komunitas Yahudi.
Bekal sebagai jurnalis, ia jadi paham membaca peta politik. Sebelum melancarkan agresi, produk politik (Zionis) menghimpun dukungan dari berbagai negara, baru kemudian melakukan migrasi massal ke Palestina. Kenapa harus Palestina? karena awalnya mereka terusir oleh Romawi bermula dari sana. Tentu ada narasi mengenai juru selamat di balik sejumlah alasan-alasan. Tapi diskusi itu pre memori saja dulu.
Namun, tidak semua Yahudi tergabung dalam gerakan Zionis ini. Saya sederhanakan Zionis ini semacam ISIS dalam dunia Islam. Ideologi Zionism bertentangan dengan Judaism. Yahudi yang memeluk erat Judaism meyakini penuh bahwa suatu saat atau yang hanya dapat menyelamatkan dan menyatukan mereka sebagai mahluk pilihan tuhan adalah Mesias, sang Juru Selamat. Mereka hanya perlu menunggu hingga saat itu tiba.
Sangat berbeda dengan Yahudi beraliran Zionism, hasil bertapanya Theodore Herzl. Dari gerakan Zionis, Herzl mengharapkan nasionalisme dari kaum Yahudi. Bahwa Yahudi harus mengambil alih sendiri atas takdir mereka. Ia kumpul lah para mancuana-nya Yahudi seluruh dunia. Bikin kongres. Dalam kongres itu Yahudi terpecah dua. Ada pro ada kontra. Hingga era sekarang pun kita tahu, kelompok Yahudi Israel terpecah dua. Ada Askhenazim dan Sephardim. Askhenazim afiliasinya ke Zionis yang menguasasi pemerintahan terkadang juga melakukan kezaliman kepada saudaranya yang Sephardim.
Untuk memuluskan Zionisme ini, disinilah Herzl memainkan skil lobi-lobinya, memanfaatkan jejaring dan mengandalkan air mulut untuk winto dan sebagainya. Waktu itu Romawi sudah runtuh oleh Sultan Mehmed. Kekaisaran Usmani (Ottoman) menguasai mungkin 3/4 planet bumi. Zionis mengakrabi kanselir Jerman sebagai sekutu Usmani kala itu. Ia coba berteman. Niatnya, supaya Jerman bisa bujuk Sultan untuk jual satu kapling tanah, developer Yahudi mau bikin perumahan ala BTN biar tipe 36 saja sudah lumayan. Sayangnya, usaha itu gagal.
Menerima penolakan, Zionis lantas tak simpuru lalonya. Rencana berikutnya mendekati musuh Usmani. Ada dua; Rusia dan Inggris. Proses baku tawar dengan Rusia gagal. Terpaksa jalan terakhir menjilat Inggris. Inggris juga masih segan dengan Usmani. Sebagai jalan keluar, Inggris menawari Yahudi untuk membangun negara di Uganda. Bagian Afrika Timur yang kini berjuluk Mutiara Hitam Afrika. Zionis tidak mau. Mungkin terlalu jauh. Mereka mau Palestina, yang ada Yerusalemnya. Titik. Sikap egois ini, persis anak-anak yang minta jajan permen.
Sampai Herzl mati, cita-cita Zionis tidak kesampaian. Melihat Israel sekarang, mungkin Herzl sudah ketawa-ketawa di akhirat. Saya tidak mau langsung sebut neraka supaya lebih halus bahasanya.
Sebenarnya, bangsa Yahudi yang sudah lama tinggal di Palestina di bawah naungan pemerintahan Usmani, sudah tenang dan damai-damai saja hidupnya. Mereka tidak menerima ancaman dan penindasan seperti yang dirasakan Yahudi yang tersebar di Eropa dan manca negara lainnya. Anehnya ialah kenapa orang Yahudi yang notabene adalah Zionis di Eropa malah merasa terancam oleh Usmani. Zionis dan Inggris memiliki perasaan yang sama terhadap Usmani, terancam. Inggris merasa terintimidasi kekuatannya di Eropa akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Usmani. Hubungan dua kubu ini semakin panas saat Usmani pesan dibikinkan kapal perang oleh Inggris. Seteleh dibayar, Inggris tidak kasih itu kapal. Pareare ini kampungnya Elizabeth.
Inggris melihat celah, negara-negara Arab dalam kekuasaan Usmani ada yang memberontak. Ia manfaatkan itu untuk menimbulkan gejolak internal. Zionis juga oportunis. Ia terus mewinto dan memberi dukungan terhadap usaha-usaha Inggris dan sekutu dalam Perang Dunia I.
Setelah Usmani runtuh dalam PD I. Wilayah-wilayahnya dibagi-bagi seperti kue. Berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-bangsa Inggris berhak atas tanah Palestina. Zionis sudah ehem-ehem, senyum malu-malu tapi mau. Melalui tokoh Yahudi yang paling terkenal dalam dunia perbankan, Rotschild, Zionis melobi Menlu Inggris, Balfour. Inti dalam lobi itu, Inggris mendukung bahwa Palestina adalah tempat mudiknya Yahudi. Kampung halaman mereka.
Anda masih ingat kasus tadi, pembelian kapal perang oleh Usmani. Sifat parearenya Inggris terulang lagi ke orang Yahudi. Bukannya menepati janji untuk memberikan sebagian Palestina kepada Zionis, Inggris malah membentuk kerajaan Trans Jordania. Akhirnya, konflik antara bangsa Yahudi dan Arab di Palestina memasuki ronde pertama. Hingga sekarang ronde-nya belum selesai. Wasit sudah berkali-kali ganti, pertarungan belum sampai di ujungnya. Amerika masih sebagai Dana White nya (Bosnya UFC) dan Indonesia masih tetap menjadi supporter setia Palestina.
Di kalangan Zionis Yahudi, ada tolonya bernama Zhabotinsky. Ia bikin kelompok milisi, Hagana. Mereka tolak bangsa Arab di Palestina, karena orang Arab sudah besar wilayahnya di Timur Tengah. Mulai dari sini mereka berjuang. Tidak percaya siapapun lagi termasuk Inggris. Sesama Yahudi membangun soliditas. Mendengar itu, Yahudi dari Eropa berbondong-bondong datang ke Palestina bergabung. Eskalasi konflik kian besar. Inggris kewalahan, lalu menyetop kebijakan imigrasi Yahudi ke Palestina. Konflik ini terjadi dalam kurun waktu 1914. Nanti Anda cek sendirilah timeline-nya.
Sepanjang perjalanan bangsa Yahudi, tahun 1939 adalah momentum paling nahas. Ketika Jerman dikuasai Hitler dengan kelompoknya yang terkenal dengan sebutan Nazi. Mau Zionis atau Nazi, sama-sama pake Z. Sama liciknya. Kita mengenal tragedi Holocaust. Ambisi Hitler untuk menghabisi seluruh Yahudi di dunia. Apa alasannya Hitler melakukan genosida sistematis ini?, ini pembahasan panjang tersendiri juga, kita skip juga, tapi jawaban Hitler saat ditanya tentang itu cukup menggelitik sebenarnya. Kira-kira bosnya Nazi itu jawabnya seperti ini; sa tida bunuh semua ji Yahudi, sa sisakan untuk komorang, supaya ko tau alasannya kenapa saya harus bunuh.
Dalam konflik di ronde pertama tadi, awalnya, sebagian Yahudi sepakat untuk hidup berdampingan dengan Arab. Kebencian Yahudi ini tentu akibat kedatangan nabi terakhir yang bukan dari bangsa mereka. Tapi, pemikiran Zionis yang diteruskan oleh Vladimir Zhabotinsky tadi sudah menancap disebagian kepala Yahudi garis keras. Mereka menebar teror di Palestina. Bukan hanya orang-orang Arab yang dimainkan. Mereka sikat dengan orang Inggris, karena Inggris melarang Yahudi berdatangan ke Palestina melalui kebijakan Imigrasi.
Yahudi fundamentalis mengecam aksi teror Zionis itu. Kemudian mereka memaksa Inggris dan komunitas internasional untuk membikinkan Yahudi sebuah negara. Yahudi fundamentalis menganggap itu adalah solusi agar kelompok teror Zionis berhenti berulah.
Pada akhirnya Inggris tak sanggup. Ia lambaikan tangan ke kamera. Konflik di Palestina menguras pikiran dan sumberdaya. Inggris lalu menyerahkan Palestina kembali ke United Nations (UNSCOP). Resolusinya adalah Palestina di bagi tiga. Satu bagian Yahudi, bagian lainnya Arab. Khusus Yerusalem milik United Nations. Melalui sidang, 33 negara menyatakan setuju, 13 menolak, 10 abstain dan 1 tidak hadir.
Akhirnya cita-cita Zionis terwujud. Pada 14 Mei tahun 1948, David Ben Gurion langsung proklamasikan negara Israel di Tel Aviv. Besoknya, Inggris tarik pasukan, angkat kaki dari Palestina. Beberapa jam kemudian Iraq, Suriah, Mesir dan Jordania menyerang Israel. Another round of the war has just begun. Damai perang, damai perang, damai perang. Begitu terus. Sampai-sampai tukang ojek di lorong ku dulu bilang dengan nada kesal: dorang itu baku hantam terus, apakah dorang baku tengkarkan?.
Pengembaraanya sudah cukup jauh, kita kembali pada relevansi tema sentral yang disampaikan pada judul tulisan ini. Siapakah kawan Palestina di Arab?, kenapa orang-orang Arab lain tidak tergerak untuk membantu perjuangan rakyat Palestina?.
Satu hal menarik adalah kalau kita mengikuti perkembangan hasil analisis para pakar Timur Tengah. Ilmuwan politik Timur Tengah menyatakan bahwa konflik ini, ibarat nikah, yang akan ijab qobul adalah Arab Saudi dan Israel. Karena Saudi adalah negara influencer di kawasan Timur Tengah. Memiliki pengaruh kuat di kawasan. Dari perdamaian itu, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia akan terciprat investasi Rp80 Triliun. Itu adalah mahar politik bagi Indonesia. Siapa yang kasih?; Amerika, Uni Emirate Arab dan Arab Saudi. Diketahui Indonesia yang memasang harga mati kemerdekaan Palestina. Bagaimana masuk-masuknya ini bela laidi? tentu saja ada peran skill politik Trump. La pirang ini berupaya melemahkan posisi Palestina dengan merangkul negara-negara di jazirah Arab lainnya.
Baru-baru ini, Arab bersedia melakukan normalisasi terhadap hubungan mereka dengan Israel. Alasannya adalah ekonomi. Kerjasama Israel dan Arab semakin meningkat. Menurut Arab Center for Research dan Policy Studies, di 2018 Israel menyuplai gas alam ke Mesir, kerjasama itu senilai USD 15 miliar. Kemudian ada Jordania dan US di bidang energi berbasis di Israel, Jordan mengimpor gas alam cair senilai USD 10 miliar. Dan masih banyak di sektor-sektor lain yang uangnya bikin ijo mata. Jalinan ketergantungan ini akan memaksa siapapun berada pada posisi lemah.
Selanjutnya, hal yang menyebabkan mengapa Palestina seolah merasa sendiri ialah bergesernya definisi ancaman oleh bangsa Arab. Pada mulanya, bangsa Arab merasa terancam dengan gerakan Zionisme, sayangnya beberapa tahun belakangan ancaman itu mengalami pergeseran, perhatian Arab tertuju pada Iran, akibat program nuklirnya. Iran jauh lebih mengancam dibanding aneksasi Israel di tanah Palestina. Negara-negara Arab sedang fokus mengisolasi Iran dari geopolitik Timur Tengah. Satu ancaman baru paling berbahaya daripada Israel.
Mungkin yang paling jelas di depan mata kita, akan kesendirian Palestina adalah tentang solidaritas bangsa Arab yang kian lembek. lemah. Seperti sayur kangkung layu. Andai saja saya presiden, dan posisi Indonesia bertetangga dengan Palestina, satu hari selesai itu Israel. Kecilnya itu Israel. Saya tinggal mobilisasi massa satu pulau Sulawesi, takepung satu kali. Jadi seperti spotaiker (spotong taik kering) yang dikerumuni lalat itu Israel. Kalo ada yang tanya, eh bemana mi dengan roket?, ohh la anu ini da belum tau jampi-jampi nya Indonesia, satu kali soak itu batreinya roket. Trus bemana kalo da panggil temannya, orang Amerika? Ehh kenapa mo takut Amerika, tinggal kita telponkan Xi Jinping kune, banya nya mi investasinya China di Indonesia tida mungkin da diam saja.
Kita kan tahu bagaimana perang saudara di Suriah. Sejarah Iraq menyerbu Kuwait. Pemerintah Yaman dengan Houti. Lalu ada Libia lewat permainan Turki. Konstelasinya dynamic. Aliansi berubah-ubah. Solidaritas bangsa Arab rapuh. Di KTT terakhir saja Liga Arab tak mampu mengambil keputusan terhadap usulan Palestina yang mengecam normalisasi hubungan-hubungan tadi. Palestina tidak mendapat dukungan penuh dari negara-negara Arab. Definisi musuh bagi Palestina tidak dianggap demikian bagi Liga Arab. Kondisi ini kian rumit karena banyaknya hubungan diplomatik yang akan saling baku iris. Gejolak-gejolak itu menyebabkan nasional interest negara-negara Arab berubah. Dinamika kepentingan mereka pun berubah.
Satu hal krusial yang turut menegaskan kondisi kesolidan Arab ialah disrupsi digital. Rezim monarchi di Timur Tengah merasa khawatir dengan perkembangan digital. Rezim ini terancam dengan kemunculan akun-akun anonim yang tak mendukung pemerintahan, yang akan mudah memicu pemberontakan. Kalau di kita itu semacam kemunculan buzzeRP di akun-akun media sosial. Kerjasama dengan Israel sangat penting sebagai negara yang memiliki teknologi tercanggih di dunia. Israel memiliki AI (artificial intelligence) untuk men-takedown serangan cyber melalui medsos.
Posisi Indonesia jelas, menghendaki Israel menghentikan aneksasinya di west bank (tepi barat) dan jalur Gaza. Memang bukan tidak mungkin, tapi yang jelas pasti akan sulit mewujudkan itu, sebab jika melihat peta politik Israel yang sebentar lagi akan melakukan pemilihan, perluasan wilayah di west bank adalah jualan politik Netanyahu.
Selain kampanye politik, aneksasi Israel akan terus berlanjut, selama konten-konten anti-semitisme terus disebarkan dalam kurikulum pendidikan Palestina. Bukan cuma disana, dari dulu kita juga sudah diajarkan untuk membenci Yahudi. Saya harus jujur selain doktrin agama dan cerita-cerita kekafiran serta ramalan masa depan plus misteri di balik jawaban Hitler alasan untuk membenci Yahudi saya sudah tidak tahu lagi. Zionislah yang layak menerima rasa benci saya. Content creator Nusseir Yassin pernah melakukan social experiment, ia bertanya ke beberapa orang Yahudi di Israel tentang pemahaman muslim terhadap bangsa mereka. Sangat menegejutkan rata-rata jawaban mereka bahkan untuk ukuran anak kecil saja mereka beranggapan di dalam kepalanya bagi muslim itu, darah mereka adalah halal, wajib hukumnya ditumpahkan dan dibunuh. Jadi ternyata, Yahudi itu tahu diri, kalau mereka bisa menjadi sasaran pembantaian kapan saja. Oleh karena itulah Israel ngotot, harus menggusur penuh kalangan Arab ditiap jengkal bumi Palestina agar ajaran kebencian kepada bangsa mereka bisa sirna. Saya rasa mungkin ini juga salah satu permasalahan paling sensitif. Friksi-friksi kecil seperti ini berpeluang memperpanjang usia konflik.
Dua aktor kunci di belakang konflik ini tentu saja AS sebagai aliansi Israel dan Saudi Arabia sebagai negara influencer di Timur Tengah. Pengaruh Saudi cukup besar di kawasan. Itulah muncul hipotesa di awal bahwa ujung-ujungnya yang teken kontrak atas konflik ini adalah Saudi dan Israel. Kenapa Saudi? kita skip saja dulu, SKS tersendiri juga materi itu.
Kita tidak boleh berburuk sangka, kini Joe Biden tengah memperbaiki hubungan AS-Palestina yang telah dirusak Trump. Di era Trump kebijakan AS unilateral, sangat Israel sentris. Kini, pendulum kebijakan politik luar negeri AS berubah dengan menggelontorkan 235 juta dollar untuk Palestina melalui UNRWA: organisasi PBB yang menangani pengungsi Palestina. 150 juta dollar untuk UNRWA, 75 juta dollar untuk bangun ekonomi dan membangun kawasan tepi barat, sisanya untuk bina perdamaian dengan Israel. Israel pun mengecam keputusan sekutunya itu. Begitu juga dengan hubungan bilateral dengan Saudi. AS menarik diri dari dukungan Saudi terhadap konflik di Yaman.
Di pikiran saya, jika mau kembali masuk ke dalam imajinasi tadi bahwa saya sebagai presiden, tidak ada penyelesaian lain atas konflik ini selain baku tada, sinimi kita baku hambur untuk terakhir kalinya dan selamanya. Once and for all.
Directly, Indonesia tak punya kepentingan di Palestina. Saat negara-negara Arab pelan-pelan mulai meninggalkan Palestina apa alasan kita untuk terus membantu. Selain ukhuwah Islamiyah saya rasa tidak ada alasan lain yang mendasari Indonesia membantu Palestina. Alasan kemanusiaan mungkin tidak cukup, karena dua pihak yang bertikai sama-sama jatuh korban, meski Palestina lebih banyak.
Pemimpin kita saat ini hanya bisa mengikut jejak ibu Malin Kundang, mengutuk atas tindakan Israel. Mengandalkan doa agar mereka segera hendip jadi patung. Sebatas mengecam saja. Meskipun kekuatan Militer TNI lebih disegani dibanding Israel dalam peringkat fire power dunia. Indonesia masih ragu melakukan pendekatan militer. TNI kita; Kopassus, pasukan Setan, Denjaka dan matra-matra lainnya, apalagi Satpol PP jago-jago skill individunya kalo baku hantam. Masalahnya, Israel tinggal tekan Enter, selesai ini barang. Kita baru pasang jurus, mereka sudah pijit Ctrl+A Delete. Lenyap.
Kita harus akui kita telah kalah. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Allah Akbar.
4,257 Komentar