Kalau dengar atau baca pernyataan satu pejabat yang diwarta oleh media, apapun itu terkait pendidikan kita yang katanya membaik, saya ketawa kecil, senyum-senyum saja di dalam hati lalu bengong. Hanya agar tak dilabel berkinerja buruk, produk kebijakan dobol kosong, nir faedah diklaim sukses. Padahal semua itu tak lebih dari bentuk pengguguran kewajiban. Kebijakan pendidikan kita sering salah sasar. Birokrasinya terkena stroke menahun. Kaku.
Kita terlampau bangga dengan predikat mentereng yang disematkan komunitas global melalui UNDP (United Nation Development Program), bahwa: Indonesia berada pada golongan Brahmana dalam perkembangan SDM. Banyak orang senang dengan itu, padahal itu artinya kita hanya bertambah banyak secara quantity, bukan bertambah pintar dalam hal quality. Ujung-ujungnya apa? Malah jadi beban negara.
Secara matematis, kita bisa gunakan angka dari human development index (HDI) untuk berkaca. Indonesia bertengger pada peringkat 111 dengan poin 0.707. Indonesia masih setia dan taat untuk tertinggal jauh dari negara tetangga: Malaysia, Filipina. Kalau dua negara ini mungkin kita bisa maklum. Tapi menyedihkannya ialah kita harus tertinggal 34 peringkat di bawah Thailand. Sebuah negara yang telah dilaknat oleh netizen Indonesia, negara yang abu-abu; rumit membedakan gender. Kita retarded dibanding homo homo lesbian disana.
Kita sudah menetapkan visi bersama, di usia 1 abad bangsa ini merdeka, di tahun 2045, tidak ada satu biji manusia pun di persada bumi pertiwi ini yang setengah mati mengakses pendidikan. Tidak ada lagi jurang-jurang curam kesenjangan dalam meraih pendidikan untuk anak-anak pelosok. Manusia di Indonesia sudah harus unggul berkompetisi di level global. Kalau perlu keunggulannya mendominasi hingga ke alam barzakh. Mulus melintasi jembatan sirathal mustaqim, amin. Allah Akbar. Hidup Indonesia. Merdeka.
Saya ingin membagi satu cerita, mungkin saja ini bisa jadi renungan kita ketika lagi menyendiri. Di waktu SD saya punya teman, orangnya baik dalam bergaul. Dia suka menolong orang. Sering membagi hasil jajanannya ke kita. Tidak suka bertengkar. Jika main-main kerumahnya, saya lihat ia sangat mandiri. Ia membantu orangtuanya mengerjakan urusan rumah. Untuk kebutuhannya sendiripun ia urus sendiri. Sangat mandiri. Kalau upacara bendera tiap Senin di sekolah dia selalu rapi, lengkap topi dan dasi, padahal di hari-hari biasanya bajunya saya perhatikan lebih banyak di luar. Kalau hormat, dia yang paling tegap, bertenaga lagi. Gerakannya pata-pata.
Kalau pembacaan teks Pancasila, ohh jangan dibilang, mulutnya paling lebar menganga, terentang, suaranya yang paling menggelegar. Kalau momen pembacaan UUD, dia selalu hikmat mendengar, murid lain pasti cecerita. Satu hal lagi, mau selama apapun kepala sekolah membawa amanat upacara dia tidak pernah pingsan, fokus mendengar, posisinya selalu tegak meski dalam posisi istirahat.
Dibalik semua ke..?, Sebut saja kekaguman saya itu, sayang sekali nilai Pendidikan Kewarganegaraannya (PPKN) jeblok. Dapat 5. Itu adalah aib dalam ukuran anak SD kala itu. Semua perilaku positifnya itu tumbang di hadapan murid lain yang pandai menghafal saat ulangan. Karakternya binasa, hancur selebur-leburnya, seketika dicap tak mampu, goblok oleh guru dan diamini oleh murid lain. Akhirnya dia ogah-ogahan belajar PPKN. Tidak ada kurikulum yang menghargai perilakunya yang suka menolong dan berbagi, mandiri dalam kehidupannya di rumah, bahkan nasionalismenya dalam upacara bendera.
Sistem menanamkan di dalam kepala tenaga pendidik kita untuk menghakimi orang/murid dari angka-angka di atas kertas. Kita enggan melihat pada kenyataan. Bukankah tujuan PPKN itu supaya orang berperilaku sosial yang baik dalam kehidupan bernegara, untuk menumbuhkan rasa cinta pada tanah air. Lalu apa yang kurang dari teman saya itu? Saya adalah persaksian darinya.
Dari pola seperti inilah sebenarnya benih-benih amoral itu menjadi hal yang paling hegemonik ketika seseorang itu tumbuh dan memegang kendali atas kebijakan publik. Sistem pendidikan kita sendirilah yang berperan sebagai produsen pencetak generasi generasi korup dan gedung-gedung sekolah adalah pabriknya.
Dan tidak menutup kemungkinan, cita-cita perwujudan generasi emas 2045 menjadi absurditas baru untuk menghiasi mimpi mimpi kita di siang dan malam bolong.
Ahh masa,.?…ia, instrumen beserta perangkat yang lain sepertinya belum seutuhnya siap mewujudkan itu.
Coba kita lihat apa yang diupayakan menteri pendidikan kita. Di peringatan Hardiknas lalu ia mengampanyekan “Merdeka Belajar”, mengikut deklarasi sebelumnya: Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Secara paradigm (kalo RG sebutnya; paradaim) ini sangat mempesona sekali. Sesuatu yang indah yang pernah terjadi di alam pendidikan kita.
Instruksi, kebijakan, ajakan dari mas Nadiem itu gagap pada tataran implementasi di daerah. Secemerlang apapun ideologi yang ditelurkan kementerian selalu takandas penerapannya, apalagi pada wilayah-wilayah pelosok dan terisolir. 2045 tinggal beberapa tahun lagi, tapi posisi kita masih start jongkok, belum pada aba-aba siap melesat.
Menerapkan gagasan dari founder Gojek itu rupanya tak pernah gampang. Selalu sulit. Ada-ada saja kendalanya. Kalau tidak ada kendala diusahakan dibikinkan kendala. Kebijakan keren Nadiem itu rusak melewati lapis lapis kebijakan yang tebal. Hierarki yang kepanjangan menyebabkan kebijakannya mengeropos. Gagasan surga itu bertabrakan dengan kapasitas tenaga pendidik dan kompetensi birokrat pendidikan yang lemot, miskin inovasi dan kemauan.
Saya mungkin jadi sinikal dengan pernyataan ini: sudah 70-an tahun kita merdeka, tapi masih begini-begini saja, apa yang dapat kita lakukan dalam 20 tahun tersisa?.
Alangkah biadabnya saya jika menjabarkan ini tanpa menyodorkan solusi. Saya sadar aktivitas menulis adalah kerja-kerja memahat peradaban. Peradaban dibentuk sejauh mana perkembangan literasi kita terhadap segala macam hal. Dari coretan-coretan ini sebenarnya saya berbicara tentang dua kelemahan kita: kualitas guru dan kompetensi pejabat publik kita yang membidangi sektor pendidikan.
Tidak ada jalan lain untuk keluar dari neraka pembantaian kecerdasan ini selain perhatian lebih pada kualitas guru. Guru itu tidak mengajar melainkan memicu potensi. PR nya adalah bagaimana membuat profesi guru ini menggiurkan di mata publik. Tidak bisa sembarang menjadi guru. Kita harus membuat SOP profesi ini sama kalibernya dengan jabatan direktur di BUMN bahkan kalau perlu melebihi. Jangan hanya karena berembel S.Pd dan butuh kerjaan, pelariannya tes CPNS, incar lowongan guru. Menjadi guru asal tak disebut pengangguran. Pemerintah perlu menciptakan iklim kerja bagi guru yang memungkinkan untuk mencetak generasi terbaik bangsa, mereka jangan dibebani lagi dengan urusan kesejahteraan hidup. Guru sudah harus selesai dengan urusan dirinya sendiri. Transfer of knowledge adalah metode usang yang harus dilenyapkan dalam mindset pengajar.
Solusi terakhir, sebenarnya saya hendak menyarankan kerajaan oligarki di parlemen melegalkan The Purge: pembersihan, khusus untuk birokrat kita saja, tapi selain ekstrim dan sadistik, itu terkesan fiktif dan imajinatif. Jadi saya hanya bisa berharap, bos bos ta itu yang jadi pejabat, kenapa lambat sekali kah itu gerakan ratakan pendidikan? Jangan terlalu banya air mulut dan retorik, satu tele dua tele, bertele-tele itu birokrasimu. Terlalu dibiarkan itu, bahaya, komorang tahu kah, itu crew-nya kapal selam Krusk dari Rusia, mereka mati bukan karena tenggelam dan kehabisan oksigen. Tidak. Mereka mati gara-gara birokrasi kune guys.(*)
*The purge atau pembersihan merupakan satu kebijakan publik, produk legislasi parlemen Amerika untuk menjaga keseimbangan psikologis warga negara melalui pelegalan aksi kriminal dan pembalasan dendam. Mereka meyakini the purge dapat mempertahankan tatanan sosial. Aneh dan mengherankan. Ini pernah diterapkan dalam peradaban Romawi, disebut Saturnalia.
4,095 Komentar